PEMENUHAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP) DI SEKOLAH SEBAGAI PRASARAT MINIMAL MENUJU PENDIDIKAN MAJU DI JAWA BARAT
Pendidikan
merupakan sebuah proses perubahan, yang terjadi sepanjang hayat manusia, baik
dalam dimensi individual maupun sosial. Dalam pendidikan terjadi upaya peningkatan dan pengembangan potensi sumber
daya manusia (SDM) dalam rangka kelangsungan hidupnya, baik secara individual
maupun kolektif. Semua upaya tersebut berhubungan dengan lingkungan masyarakat, baik dalam
cakupan lokal, regional dan global. Pendidikan sebagai wujud dari proses
perubahan yang dilakukan secara sadar,
diarahkan untuk menyiapkan SDM, agar dapat memiliki peran dan fungsi dalam
lingkungan hidup masyarakat lokal, regional dan global di masa depan. Proses
perubahan itu dilakukan melalui kegiatan
pembinaan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan.
Dalam era
globalisasi, setiap bangsa dalam setiap
percaturan bidang seharusnya menjadi pemain dan pelaku (subyek) yang memiliki eksistensi, bukan
malah menjadi korban (obyek). Harapan
tersebut dapat terwujud apabila didukung oleh
SDM berkualitas yang memiliki keunggulan dan daya saing global. Karena itu,
berbagai issue yang muncul dalam
rangka globalisasi, seperti demokratisasi, pengembangan dan pemanfaatan IPTEK
canggih, pelestarian lingkungan
hidup, penegakaan HAM, akan lebih
terwujud bila didukung oleh ketersediaan
SDM berkualitas, unggul dan berdaya saing.
Karena itu, tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan saat ini dan
ke depan adalah bagaimana menciptakan SDM
berkualitas, unggul dan berdaya saing melalui penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional.
Namun, bercermin
terhadap kinerja penyelenggaraan sistem pendidikan nasional selama ini,
ternyata harus diakui bahwa kondisi pendidikan di tanah air pada umumnya belum
dapat memenuhi apa yang menjadi harapan di atas. Kinerja
penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat dibanggakan untuk
ukuran kawasan Asia. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) menempatkan posisi dari penyelenggaraan sistem
pendidikan di Indonesia adalah terburuk di kawasan Asia. Dari
12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong
itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul
Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia, sedangkan Indonesia berada pada urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.
Hasil survei tersebut juga dapat menggambarkan adanya hubungan
korelasional antara buruknya
penyelenggaraan sistem pendidikan di tanah air dengan rendahnya kualitas atau mutu pembangunan sumber daya manusia di Indonesia
yang dilaksanakan selama ini.
Dengan
demikian harus diakui bahwa bahwa selama ini dalam penyelengaraan sistem pendidikan di tanah
air, telah terjadi kesenjangan (gap) terhadap mutu pendidikan.
Kesenjangan mutu pendidikan itu terjadi
antara harapan (das sollen)
penyelenggaraan sistem pendidikan oleh para stateholders pendidikan, dengan
kenyataan atau realitas yang sesungguhnya terjadi (das
sain) tentang mutu pendidikan di tanah air.
Kesenjangan mutu pendidikan tersebut
menggambarkan bahwa dunia pendidikan di tanah air secara umum belum
sepenuhnya dapat memenuhi harapan orang tua dan
masyarakat, serta pasar pengguna
produk pendidikan, sehingga persepsi orang tua dan masyarakat serta pasar terhadap penyelenggaraan dunia pendidikan
masih pesimistik, apatis dan negatif. Terjadinya kesenjangan terhadap mutu
pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menentukan penyelenggaraan
sistem pendidikan, di antaranya adalah: (1) sarana/prasarana, (2) tenaga
pendidik dan kependidikan, (3) kurikulum,
(4) dana, dan lain-lain.
Dalam rangka menemukan solusi
terhadap persoalan kesenjangan mutu pendidikan di tanah air, maka Pemerintah
menerbitkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP). Pemerintah menegaskan bahwa SNP
merupakan kriteria minimal tentang
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Standar inilah harus dicapai dalam pelaksanaan
urusan pemerintahan bidang pendidikan. Karena itu telah menjadi kewajiban
pemerintah baik di Pusat maupun Daerah
untuk memenuhi standar nasional tersebut. Karena itu, tanpa ada pengecualian
baik kebijakan, program, dan kegiatan-kegiatan
pembangunan pendidikan di tanah air harus mengarah dalam rangka
pencapaian standar minimal tersebut. SNP
yang telah ditetapkan melalui PP Nomor 19 Tahun 2005, mencakup delapan aspek standar, yaitu : (1) standar
isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik
dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar
pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan.
Selanjutnya ditegaskan bahwa fungsi
SNP adalah sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Fungsi
inilah yang justru menjadi tantangan besar di masa depan untuk para
penyelenggara pendidikan, baik dari unsur birokrasi (Dinas Pendidikan), unsur
sekolah maupun unsur masyarakat (Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah). Semua
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan yang dirumuskan baik
oleh unsur birokrasi dan unsur sekolah harus
berdasarkan SNP. Rencana pengembangan sarana/ prasarana pendidikan pada setiap
tahun, seperti berapa unit sekolah baru yang akan dibangun, berapa ruang laboratorium sains yang harus
dibangun, berapa jumlah buku yang harus diadakan, dll; semuanya seharusnya
berdasarkan pada data akurat kesenjangan
antara kondisi yang ada di lapangan dengan SNP yang diharapkan.
Karena
itu, menyikapi SNP tersebut setiap sekolah yang merupakan organisasi dan sistem yang bersifat dinamis, seharusnya
dapat beradaptasi dengan tuntutan perubahan sebagaimana dikehendaki oleh SNP dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran
untuk meraih keberhasilan anak didik dan sekolah di
masa depan. Dalam rangka melakukan
perubahan untuk menyikapi hadirnya SNP dibutuhkan pengelolaan sekolah melalui tindakan manajemen perubahan, yang dapat berupa :
penerapan cara-cara baru, metode baru, sistem baru, prosedur baru, manajemen baru sampai dengan
organisasi baru dengan mengacu pada standar-standar baru yang ditentukan oleh
SNP.
Untuk
itu, sekolah membutuhkan hadirnya paradigma
baru dalam kepemimpinan dan pengelolaan (manajemen) sekolah. Paradigma baru
kepemimpinan sekolah akan menentukan
pola dan gaya kepemimpinan seorang kepala sekolah untuk mengarahkan sekolah menuju kemajuan sekolah di masa depan melalui
pencapaian SNP. Dalam rangka itu dibutuhkan proses pemberdayaan, kolaborasi dan
penciptaan jejaring kerja dan manajemen yang lebih bersifat partisipatif. Sebab,
paradigma baru kepemimpinan sekolah dengan penerapan manajemen partisipatif, akan
ditentukan oleh proses pemberdayaan (empowerment),
yang merupakan
faktor diterminan terhadap tindakan manajemen partisipasi. Pemberdayaan tersebut
akan memiliki orientasi pada 2 (dua) aspek dimensi, yaitu (1) pemberian atau
pendelegasian sebagian kekuasaan, kekuatan,
atau kemampuan (power sharing) atau tanggung jawab (responsibility sharing), dan (2) peningkatan kompetensi,
pengetahuan, ketrampilan, kemandirian
serta profesionalisme setiap
komponen/elemen.
Untuk itu, dapat diprediksi bahwa
faktor kepemimpinan sekolah akan sangat menentukan upaya perwujudan pencapaian
SNP sebagaimana dikehendaki oleh Pemerintah. Karenanya untuk maksud tersebut,
maka setiap aspek dari SNP oleh
Pemerintah diatur ketentuannya melalui penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas), misalnya
Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Permendiknas Nomor 41 Tahun
2007 tentang Standar Proses, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan, dan permendiknas-permendiknas yang lainnya.
Keberadaan setiap Permendiknas yang
mengatur masing-masing aspek standar, diharapkan dapat membantu setiap
penyelenggara pendidikan untuk memiliki acuan atau pedoman dalam menyediakan standar minimal yang
dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun dalam prakteknya, pemenuhan
terhadap ketentuan standar yang dicantumkan dalam permendiknas tersebut,
tidaklah mudah diimplementasikan, karena
berbagai faktor banyak yang mempengaruhinya. Walapun demikian untuk mewujudakan pendidikan maju di Jawa Barat maka pemenuhan terhadap pemenuhan Standart Nasional Pendidikan (SNP) di sekolah-sekolah di Jawa Barat menjadi sebuah konsekwensi pemikiran dan langkah tindakan yang harus dilakukan setiap pemang kepentingan yang terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar