FAKTOR PEMBERDAYAAAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA
SUMBER DAYA MANUSIA
Sumber daya manusia memiliki dua aspek,
yaitu (1) aspek sumber daya dan (2) aspek manusia. SDM adalah manusia yang tergantung pada dan
dipengaruhi oleh lingkungan yang berkepentingan (subyek) dan memerlukan sumber
dari lingkungan, bahkan berhak diperlakukan seadil-adilnya oleh lingkungan. Menurut Burns et al sebagaimana dikutip oleh Syarif Makmur (1987), dijelaskan bahwa “Manusia berperan penting dalam menentukan aksi
sosial dan perkembangan struktural sistem-sistem sosial.
Khususnya manusia-manusia pelaku yang kuat terlibat dalam membuat
keputusan yang strategis dalam pembentukan lembaga-lembaga yang pokok.”
Penjelasan yang dikemukaan oleh Burns et.
al tersebut menunjukkan bahwa kemampuan
para aktor sosial bahkan para elite dan pelaku yang berkuasa, untuk melahirkan
suatu struktur sosial, formulasi kultural dan pola-pola aksi sosial yang
menguntungkan bagi kepentingan mereka sendiri sangat terbatas.
Karena
itu, maka Nawawi (2001) mengemukakan pendapatnya tentang SDM adalah sebagai berikut :
”Pengertian SDM perlu dibedakan pengertiannya
secara makro dan mikro. Pengertian
SDM secara makro adalah semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu
negara atau dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan
kerja, baik yang sudah atau pun yang belum memperoleh pekerjaan (lapangan
kerja). SDM dalam arti mikro secara
sederhana adalah manusia atau orang yang bekerja atau menjadi anggota suatu organisasi yang
disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja, dll.”
Dalam kaitan itu, maka Dessler (1997) menjelaskan bahwa peningkatan produktivitas merupakan hal yang sangat penting dalam lingkungan kompetitif global dewasa ini; dan SDM memainkan peranan penting dalam menurunkan biaya tenaga kerja, membuat organisasi/perusahaan lebih tanggap terhadap inovasi produk dan perubahan teknologis.
SDM memainkan peranan penting dalam organisasi/perusahaan, dengan demikian saat ini sudah semakin lazim untuk melibatkan SDM dalam tahap paling awal dari pengembangan dan pengimplementasian rencana strategik perusahaan, lebih dari sekedar membiarkan SDM bereaksi terhadapnya.
Menurut Thomason (1997), ada dua hal yang bersumber dalam diri manusia yang dibutuhkan lingkungan, yaitu : (1) a capability for decision and action, dimana hal ini menyangkut dengan skill, capacity dan ability; dan (2) a disposition to cooperate with others (fellow workers and management) in interdependen and interrelated taks), dimana hal ini menyangkut dengan motivasi atau willingness to contribute work.
Dengan pemahaman
tersebut maka dapat dijelaskan bahwa SDM organisasional (SDM mikro) merupakan
bagian dari SDM lainnya dalam masyarakat (SDM makro). SDM makro sebisa mungkin memasuki suatu
lapangan kerja (sumber nafkah). Kebutuhan
akan pekerjaan mendorong dinamika dan mobilitas sosial, baik vertikal maupun
horizontal seperi seleksi, persaingan,
promosi, urbanisasi, migrasi, bahkan keluarga
berencana. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat dari Atmosoeprapto (2002) yang menyatakan sebagai berikut :
”Dalam suatu organisasi, pengembangan organisasi (organiztion development) menuntut
perkembangan SDM. Sebaliknya pengembangan SDM memungkinkan pengembangan
organisasi. Untuk mencapai kinerja organisasi yang baik, kedua-duanya harus
berkembang bersama-sama secara seimbang”.
Pengembangan organisasi tanpa didukung
oleh pengembangan SDM akan membuat organisasi berkembang tersendat-sendat,
sehingga efektivitasnya menurun dan produktivitasnya juga menurun. Sebaliknya, pengembangan SDM tanpa
diikuti pengembangan organisasi hanya
akan menaikkan biaya overhead dan biaya tetap, serta potensi yang idle, yang
berarti rendahnya efisiensi dan pada akhirnya juga akan menurunkan
produktivitas organisasi.
Selanjutnya, Atmosoeprapto menjelaskan
bahwa sebagai berikut :
"SDM yang berkembang berarti juga individu yang
berkembang ataupun individu yang berdaya atau bisa juga disebut individu
pembelajar. Manusia yang tidak berkembang bisa menjadi beban dalam organisasi,
namun bila ia dikembangkan akan menjadi SDM yang potensial".
Dengan demikian SDM yang berkembang adalah
SDM yang diberdayakan. Dengan pemberdayaan SDM akan dapat memacu kinerja organisasi, yaitu meningkatnya
produktivitas, kualitas kerja, dan mencapai efektivitas dan efisiensi
organisasi.
Apabila upaya meningkatkan mutu SDM hanya menyangkut segi ketrampilan atau profesionalisme
saja adalah kekeliruan besar. Sebab menurut Soewardi (2002) :
”Mutu SDM pertama-tama ditentukan oleh personality atau kepribadian. Di negara kita, kepribadian ini
pertama-tama harus dibentuk terlebih dahulu, yaitu kepribadian yang bermoral
tinggi, sesuai dengan permintan zaman (modern), dan bermotivasi yang kuat.
Tiadanya unsur-unsur itu menjadikan manusia Indonesia terombang-ambing, lemah
karsa, mudah diarahkan kepada hal-hal yang bengkok, dsbnya”.
Karena permasalahan moral, bangsa
Indonesia sangat sulit keluar dari krisis multidimensi yang dialaminya. Soewardi selanjutnya mengatakan :
”Menurut teori-teori ilmu sosial, faktor-faktor
internal/kepribadian itu terpaut erat dengan faktor kultural di dalam mana
kepribadian itu ditempa. Kita sangat maklum bahwa faktor-faktor kultural ini
berada dalam keadaan lemah atau lunak, yang disebut soft culture”.
Kultur lemah inilah yang menghambat kita
ke arah kemajuan. Di dalam kultur lunak orang tidak dilecut untuk maju, tetapi
dibiarkan kepada masing-masing. Maka mutu SDM kita berkarakter lemah, mudah
diajak, tidak termotivasi untuk maju. Dalam konteks ini, pentingnya dorongan
yang berasal dari seseorang bagi perbaikan keadaan diri dan lingkungan
sebagaimana dikemukakan Mc Clelland (1961) dengan teori Need for Achievement
nya, yaitu :
”Kegagalam pembangunan sebuah masyarakat
disebabkan karena warga masyarakat tersebut tidak memiliki motivasi untuk
berprestasi atau tidak memiliki need for achievement, sehingga warga masyarakat
bersikap fatalistis dan menerima nasibnya tanpa perlawanan”.
Menurut teori ini, agar pembangunan berhasil, sikap masyarakat harus diubah dan
didorong untuk memiliki Need for Achievement. Salah satu cara yang diajukan
oleh teori ini adalah mendidik mereka.
Di samping mengubah sikap yang pasrah
menjadi sikap yang berani melawan nasib. Oleh karena itu, masalah rendahnya motivasi
berprestasi menjadi masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan birokrasi
pemerintah saat ini. Untuk dapat keluar dari masalah-masalah tersebut, maka
menurut Clutterbuck (2003) diperlukan pemberdayaan.
Pemberdayaan dalam konteks pengembagan SDM organisasi, ditempatkan tidak saja menjadi
gerakan dalam meningkatkan produktivitas kerja, tetapi pemberdayaan dijadikan
sebagai budaya organisasi Stewart (1998). Menurut Bookman dan Sandra (1988),
pemberdayaan sebagai konsep yang sedang populer mengacu pada usaha menumbuhkan
keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas
ke atas serta memberikan pengalaman
psikologis yang membuat seseorang berdaya.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Hikmat,Harry, 2006, Strategi
Pemberdayaan Masyarakat, Bandung:
Humaniora Utama Press
Humaniora Utama Press
Kydd, Lesley, dkk., 2004, Professional Development for Educational
Management, Jakarta : Grasindo.
Management, Jakarta : Grasindo.
Leo Agustino, 2006, Politik dan Kebijakan Publik, Bandung :
AIPI Bandung – Puslit KP2W Lemlit Unpad.
AIPI Bandung – Puslit KP2W Lemlit Unpad.
Makmur, Syarif, 2008, Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia
dan Efektivitas Organisasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
dan Efektivitas Organisasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar