MANAJEMEN PERUBAHAN, PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI
A. MANAJEMEN PERUBAHAN
1. Perubahan dan Manajemen Perubahan
Kata
”Change”
diikuti ”Chage Management” yang
semakin populer di masyarakat dan penerapannya telah memasuki banyak bidang,
semula memang berkembang dari dunia bisnis/perusahaan swasta (privat
company) atau korporat (corporat).
Kata ’chage’ diterjemahkan sebagai
’perubahan’, yang mengandung makna tentang keberadaan sesuatu hal yang tidak
tetap, sesuatu yang senantiasa bergerak, berkembang, dinamis, dan berubah. Sedangkan ’change
management’ diterjemahkan sebagai ’manajemen perubahan’, untuk menjelaskan
tentang sebuah tindakan manajemen untuk mengelola perubahan atau menghadapi
perubahan. Pengelolaan perubahan perlu
dilakukan karena segala fenomena yang dihadapi perusahaan, situasi dan kondisi
atau keadaan sekeliling perusahaan senantiasa mengalami perubahan, seperti menyangkut
permintaan dan selera konsumen, pangsa pasar, harga bahan baku, suku bunga
perbankan, teknologi, perburuhan, peraturan, kebijakan dan berbagai regulasi
pemerintah.
Sifat
perubahan itu ada yang dapat diprediksi (predicable)
dan ada yang tidak dapat diprediksi (unpredicable),
namun kedua sifat perubahan tersebut harus dapat dikelola dengan baik. Dalam
bukunya ”Change !” , Rhenald
Kasali (2005) mengutip pendapat R.L. Daft (2004), yang mengelompokan perubahan
atas dua kategori, yaitu : (1) perubahan strategis, yaitu perubahan radikal
yang menyangkut proses transformasi dan perubahan tentang visi, sistem kerja,
sampai dengan strukturisasi; dan (2) perubahan operasional atau perubahan
tambahan (incremental), yaitu
perubahan yang dilakukan hanya menyangkut tujuan untuk menjaga keseimbangan
perusahaan/organisasi, misalnya peremajaan teknologi dan pembenahan
bagian/unit-unit perusahaan.
Menurut
A. Qodry Azizy (2007), perubahan bersifat konstan, yang tidak berubahan adalah
perubahan itu sendiri. Karena
itu, perubahan akan senantiasa ada, sehingga perubahan harus selalu dilakukan
dan dikelola. Dengan demikian manajemen
perubahan diperlukan sebagai solusi atau terapi atas permasalahan yang dihadapi
oleh perusahaan/organisasi saat ini, dalam rangka meraih tujuan atau
keberhasilan di masa depan.
Manajemen perubahan dapat menjadi solusi
dan terapi dari upaya-upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
perusahaan/organisasi karena faktor-faktor ekternal dan internal, seperti mengejar
ketertinggalan teknologi, mengatasi keresahan karyawan; dan meningkatkan
kinerja perusahaan/organisasi, seperti meningkatkan disiplin, motivasi, dan
produktivitas, serta meningkatkan
kualitas dan inovasi produk, meningkatkan pangsa pasar, mengingkatkan
laba keuntungan, dsbnya.
Hal tersebut sesuai dengan pendatat Jeff Davidson (2005), yang mengatakan sebagai
berikut :
”Perubahan
bisa bermakna melakukan hal-hal dengan cara baru, mengikuti jalur baru,
mengadopsi teknologi baru, memasang sistem baru, mengikuti
prosedur-prosedur manajemen baru,
menggabungkan, melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa yang bersifat
mengganggu (distructive) yang sangat
signifikan”.
Namun perlu disadari bahwa perubahan tidak
selalu dinilai sebagai sesuatu yang positif, bahkan sering terjadi penilaian
sebaliknya yang negatif terhadap maksud perubahan, dengan munculnya banyak
resistansi atas perubahan. Resistansi terhadap suatu perubahan, dapat terjadi
karena berbagai kendala dan faktor.
2. Pendidikan dan Perubahan
Pendidikan merupakan sebuah proses
perubahan, yang terjadi sepanjang hayat manusia, baik dalam dimensi individual
maupun sosial. Dalam pendidikan terjadi upaya
peningkatan dan pengembangan potensi sumber daya manusia (SDM) dalam rangka
kelangsungan hidupnya, baik secara individual maupun kolektif. Semua upaya
tersebut berhubungan dengan lingkungan
masyarakat, baik dalam cakupan lokal,
regional dan global.
Pendidikan sebagai wujud dari proses
perubahan yang dilakuan secara sadar,
diarahkan untuk menyiapkan SDM, agar dapat memiliki peran dan fungsi dalam
lingkungan hidup masyarakat lokal, regional dan global di masa depan. Proses perubahan
itu dilakukan melalui kegiatan
pembinaan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan.
Menurut Henderson (dalam Oong Komar,
2006:182), pendidikan memiliki dimensi sosial dan individual. Pendidikan adalah
proses hominisasi dan humanisasi, dimana pendidik
memanusiakan anak didik dan anak didik
memanusiakan dirinya, karena hakekat pendidikan adalah pengaruh yang
diberikan oleh orang yang bertanggungjawab kepada anak, agar anak memanusiakan sendiri dalam bentuk
kedewasaan.
Selanjutnya menurut Driyarkara, S.J
(1984), rumusan pendidikan tersebut
perlu melibatkan aktivitas pemanusiaan anak
ke alam budaya dan pandangan tentang nilai, sebab pendidikan merupakan
perbuatan yang mengubah dan menentukan hidup manusia. Anak yang dididik akan
tumbuh menjadi manusia dan pendidik dengan cara tertentu telah menentukan sikap
dan suatu keputusan, yang menurut prinsip kehidupan dan nilai insani yang
membangun seluruh hidupnya.
Karena itu, seperti disampaikan oleh
Sihombing (2000), pendidikan memiliki
peran yang sangat penting dalam upaya pengembangan kemampuan masyarakat, karena
pendidikan memfokuskan diri pada pengembangan kepribadian dan sikap mental yang
berpengaruh terhadap kematangan perilaku. Sejalan dengan pemikiran itu,
Supriatna (1997) menyatakan bahwa pendidikan sebagai sarana transformasi budaya
dalam meningkatkan kualitas SDM, sangat
relevan dengan aspek survival, kemerdekaan, humanisasi, pemberdayaan, dan
rasionalisasi. Dimana tujuan akhir proses transformasi tersebut adalah terciptanya produktivitas, etos kerja,
kemandirian, dan jati diri manusia yang unggul untuk memenuhi tuntutan
pembangunan.
Pendidikan sebagai proses perubahan akan
senantiasa ada, karena berlangsung sepanjang hayat (long life education), sehingga perlu dilakukan pengelolaan. Dengan demikian pendidikan juga memerlukan suatu
manajemen perubahan, sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang
dihadapinya, dalam rangka meraih tujuan atau keberhasilan pendidikan di masa
depan.
B. MANAJEMEN PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI
1. Pemberdayaan
Menurut
Smith (2000), memberdayakan orang berarti mendorong mereka menjadi lebih
terlibat dalam keputusan dan aktivitas yang mempengaruhui pekerjaan mereka. Hal
tersebut akan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah upaya mendorong orang untuk
lebih terlibat dalam pembuatan keputusan dalam organisasi. Dengan demikian
diharapkan akan meningkatkan kemampuan dan rasa memiliki, dan meningkatkan rasa
tanggung jawab sehingga kinerjanya meningkat. Anggota organisasi yang diberdayakan
diharapkan melakukan pekerjaan melebihi tanggung jawab yang diberikan kepada
mereka. Melalui pemberdayaan, orang diberikan kesempatan untuk dapat
menunjukkan bahwa mereka dapat memberikan gagasan yang baik, dan mempunyai
ketrampilan mewujudkan gagasan menjadi realitas.
Menurut
Sedarmayanti (1999), munculnya konsep pemberdayaan, pada awalnya merupakan
gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dunianya sendiri. Oleh
karena itu, wajar apabila konsep ini menampakkan dua kecenderungan, yaitu : (a)
Makna primer : pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan,
atau kemampuan (power)
kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya, (b)
Makna skunder : pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi, mendorong,
dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau pemberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.
Makna pemikiran Sedarmayanti tersebut sejalan
dengan pemikiran-pemikiran Bennis dan Mische (1995), yang menyatakan bahwa
pemberdayaan berarti menghilangkan batasan birokratis yang mengotak-ngotak
orang atau membuat mereka menggunakan
seefektif mungkin ketrampilan, pengalaman, energi dan ambisinya. Demikian juga dengan pandangan Cook dan Steve
(1996), menyatakan bahwa pemberdayaan meliputi memindahkan tanggung jawab
kepada staf garis depan, diperhitungkan di dalam keputusan dan memberi kesempatan untuk menjadi seorang
individu.
Selanjutnya,
makna pemikiran Sedarmayanti, nampaknya juga sejalan dengan pemikiran Irwin (1995), yang menyatakan bahwa
pemberdayaan prinsipnya adalah dalam rangka membangkitkan atau membangun
potensi-potensi yang ada pada seseorang dan sekelompok orang seperti : bakat,
ketrampilan, kekuatan dan kesenangan.
Selanjutnya,
Stewart (1998), juga menyatakan bahwa pemberdayaan menuntut lebih banyak
kecakapan dan sumber daya manajerial yang menuntut digunakannya seperangkat
kecakapan baru, yaitu: (a) membuat mampu (enabling),
(b) memperlancar (facilitating), (c)
berkonsultasi (consulting), (d)
bekerja sama (collaborating, (e)
membimbing (mentoring) dan (f)
mendukung (supporting).
Richard
Carver (dalam Clutterbuck, 2003), menyatakan bahwa pemberdayaan adalah
ketersediaan individu-individu di bawah situasi dan kondisi yang tepat untuk mengembang tanggung jawab
pribadi untuk memperbaiki situasi dimana
mereka berada. Sedangkan, Clutterbuck
(2003), menyatakan bahwa pemberdayaan sebagai upaya mendorong dan memungkinkan
individu-individu untuk mengemban tanggung jawab pribadi atas upaya mereka
memperbaiki cara mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan mereka dan menyumbang
pada pencapaian tujuan. Sehingga pemberdayaan akan memiliki lima dimensi, yaitu : (a) mendorong, (b) tanggung jawab, (c)
memperbaiki cara kerja, (d) menyumbang (kontribusi) dan (e) pencapaian tujuan.
Menurut Hikmat (2003), strategi pemberdayaan pada
hakekatnya bertumpu pada pada pendekatan partisipatif pada semua pihak,
penguatan kemampuan dan pendelegasian otoritas dan tanggung jawab, serta
aktualisasi institusi tradisi dalam pendayagunaan potensi diri dan sosial yang
dimilikinya. Ketersediaan seseorang
untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan untuk berkembang secara
mandiri.
Berkaitan
dengan pemahaman partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Tilaar
(1997) menyatakan :
”Suatu
masyarakat yang berpartisipasi adalah suatu masyarakat yang mengetahui potensi dan kemampuannya termasuk
hambatan-hambatan karena keterbatasannya. Masyarakat yang mampu berdiri sendiri
adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya, termasuk
kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya,
bahkan pada tingkat regional dan internasional.”
Dengan
pernyataan itu, Tilaar menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat sangat
ditentukan oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Semakin tinggi tingkat
kemampuan atau pemahaman masyarakat,
akan semakin tinggi pula partisipasi masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Blanchard dan Hersey (1995), paling
tidak ada tiga bidang kemampuan yang diperlukan seseorang untuk suatu tindakan manajemen yaitu (1)
kemampuan teknis, (2) kemampuan sosial dan (3) kemampuan konseptual. Kemapuan teknis (technical skill), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan,
metode, teknik, dan peralatan yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu. Kemampuan ini diperoleh dari
pengalaman, pendidikan dan training.
Kemampuan sosial (social skill),
yaitu kemampuan dalam bekerja dengan atau melalui orang lain. Kemampuan
konseptual (conceptual skill), yaitu
kemampuan dalam memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak
unit kerja masing-masing ke dalam bidang operasi organisasi secara menyeluruh.
Hal
lain yang sangat penting untuk diperhatikan, bahwa pemberdayaan berhubungan
dengan upaya mengubah peran dan perilaku manajemen. Pemberdayaan merupakan proses yang hanya dapat
dimulai dengan iklim dimana terdapat harapan (ekspetasi) yang tinggi, dimana
orang menawarkan yang terbaik sepanjang waktu. Karena itu, manajemen
puncak harus di belakang gerakan pemberdayaan.
Pemberdayaan berkaitan dengan
pendistribusian otoritas dan tanggung jawab manajemen puncak, Untuk itu, jika
tanpa dukungan manajemen puncak,
pemberdayaan menjadi sulit dikembangkan di organisasi. Karena itu, salah
satu faktor yang mempengaruhi pemberdayaan adalah faktor gaya manajemen (management style). Manajemen puncak
dalam mengelola dan memimpin organisasi, dalam rangka pemberdayaan seharusnya
mengembangkan gaya manajemen partisipatif (participatory management style).
Strategi pemberdayaan dengan menggunakan
pendekatan management partisipatif, akan lebih memberikan keuntungan bagi pengembangan organisasi
dibandingkan dengan pendekatan manajemen non-partisipatif (non-participatory management).
Selain aspek gaya manjemen (management
style), faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemberdayaan organisasi adalah
masalah budaya organisasi (organizational culture) dan iklim organisasi (organizational climate).
Menurut Kilman, Saxon dan Serpa (1960), setiap
organisasi dalam melakukan tindakan manajemen, baik yang berhubungan dengan upaya pemecahan masalah
atau pun pengambilan keputusan, akan
mempertimbangkan aturan-aturan yang
menjadi kesepakatan atau konsensus bersama, baik yang dinyatakan secara
eksplisit maupun implisit. Kesepakatan atau konsensus bersama tersebut
telah mengikat seluruh elemen dalam
organisasi, tentang semua hal yang berhubungan dengan organisasi, seperti :
asumsi, tata nilai, sikap, norma,
ekspektasi, kepercayaan,
idiologi, dll. Baik dimensi filosofi dan segala aturan yang mengikat dan
turut mengatur jalannya organisasi itu, disebut sebagai budaya organisasi (organization culture).
Sedangkan
iklim organisasi lebih berhubungan
bagaimana kondisi yang tercipta di
organisasi sebagai dampak dari
hubungan komunikasi dan kerjasama yang dilakukan organisasi dengan
lingkungannya baik internal dan eksternal. Dalam iklim organisasi akan melibatkan dimensi moralitas, etika kerja, standar
kerja, dan tingkat kompetensi dan kompetisi lingkungan kerja , yang dapat
menimbulkan sikap penolakan karena adanya ketidakpuasan
(unsatisfactory); dan sikap
penerimaan atau pendukungan bahkan dapat pula membangkitkan motivasi karena adanya kepuasan (satisfactory).
Karena itu, tingkat kepuasan dari anggota organisasi menjadi salah satu
indikator dari iklim organisasi.
Salah
satu faktor diterminan dalam rangka membangun iklim organisasi yang lebih baik
adalah sikap profesionalisme dalam lingkungan kerja yang penuh kompetisi. Karakteristik yang mencirikan adanya
profesionalisme, adalah (1) adanya tingkat penguasaan ilmu dan pengetahuan yang
tinggi, (2) adanya tingkat kompetensi teknis yang tinggi; oleh semua komponen
organisasi yang diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan. Dengan sikap profesionalisme tersebut, maka
dalam organisasi akan muncul beberapa hal yang maju, diantaranya : (1)
munculnya kemandirian, (2) munculnya inisiatif dan inovasi, (3) terjadinya sharing informasi (informatif), (4)
terjadinya transparansi dan akuntabilitas, dan (5) munculnya tanggungjawab yang
tinggi dalam rangka pelayanan publik.
2. Manajemen Partisipasi
Manajemen
Partisipasi terbentuk dari kata ’manajemen’
dari ’partisipasi’, yang masing-masing
kata pembetuknya memilikik makna dan pengertian yang terpisah. Kata ’manajemen’
menurut sejarah perkembangannya, telah mengalami proses evoluasi yang panjang
dalam segi penggalian makna, gagasan, ide, pemikiran, konsep dan teori dari
banyak ilmuwan dan para ahli. Teori-teori awal tentang manajemen berkembang
dari Machiavelli (1500), yang menekankan manajemen sebagai pedoman pemanfaatan kekuasaan, lalu
Adam Smith (1776), manajemen sebagai pembagian kerja dalam organisasi/perusahaan, selajutnya Henry Fayol
yang menekankan pada penyelenggaraan proses administrasi. Demikian juga dengan
Follet, manajemen dalam konteks perilaku dinamika organisasi, dan Max Weber
dengan focus manajemen dalam
birokrasi, dilanjutkan oleh Mayo, Maslow, dan Mc. Gregor dengan kajian aspek-aspek studi perilaku manusia dalam manajemen.
Pada saat ini, kata ’manajemen’ atau sering
yang diterjemahkan sebagai ’pengelolaan’, berhubungan dengan berbagai macam
usaha, upaya atau tindakan dari pelaku (manager), baik bersifat sebagai ilmu atau
seni, dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan/organisasi. Tindakan manajemen yang
dimaksud berhubungan dengan pengerahan sumber-sumber daya yang berupa manusia ,
material, dan money atau ”3M”, yang
diatur melalui serangkaian proses perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
dan pelaksanaan (actuating), dan
pengendalian atau pengawasan (controlling)
serta evaluasi (evaluating).
Seperti yang dikatakan Mary Parker Follet
(dalam Stoner, 1986), bahwa ”Management is the art of getting things
done through people”, atau manajemen sebagai seni untuk melaksanakan
pekerjaan melalui orang-orang. Dengan demikian, bahwa manajemen berhubungan
dengan upaya pencapaian tujuan perusahaan/ organisasi dengan mengatur atau
melalui orang lain.
Henry
M. Botinger menyatakan bahwa manajemen sebagai suatu seni membutuhkan 3 unsur,
yaitu pandangan, pengetahuan teknis, dan komunikasi. Dalam manajemen terkandung unsur hubungan
antar manusia dan struktur sosial/ kemasyarakatan
dan organisasi, sehingga manager seharusnya memahami ilmu perilaku yang mendasari
manajemen. Semakin banyak pengetahuan yang dipahami dan dikuasasi oleh manajer,
maka akan semakin menguasai langkah-langkah tindakan yang dilakukan melalui
orang lain, dalam rangka pencapaian maksud dan tujuan organisasi/perusahaan.
Sedangkan kata ’partisipasi’ mengandung makna yang luas dan dalam. Curtis et al. (1978) mendefinisikan
partisipasi sebagai berikut :
”...
participation is concerned with distribution of power in society, for it is power
with enables groups to determine wich needs, and whose needs will be met
through the distribution of resources”.
Menurut
Curtis, inti partisipasi adalah adanya distribusi kekuasaan atau otoritas dalam
kelompok, karena kelompok mampu untuk menentukan sendiri apa yang menjadi
kebutuhan. Di samping itu, partisipasi juga akan mempertemukan kelompok melalui pendistribusian sumber daya
sesuai dengan kebutuhan kelompok. Selain itu, inti dari partisipasi adalah
adanya keterlibatan anggota secara teratur dan siqnifikan dalam kelompok.
Bertolak
dari gagasan dan pemikiran tersebut, maka teori atau konsep manajemen partisipatif (participatory management) senantiasa
berhubungan dengan pengelolaan atau pengaturan tindakan partisipasi yang dilakukan oleh
manajer melalui orang lain dalam suatu organisasi/perusahaan, terutama untuk beberapa hal berikut ini, yaitu
: (1) perumusan tujuan, (2) pemecahan berbagai masalah, dan (3) pembuatan
keputusan.
Menurut
penelitian Goretex, praktik manajemen partisipasi telah menjadi kunci kesuksesan dan keunggulan dari beberapa
perusahaan maju dunia , seperti Hewiett
Packcard (HP) dan WL. Gore Associates. Di Eropa, praktik manajemen partisipasi
banyak diterapkan untuk mengelola masalah-masalah perburuhan. (Europe workers), mulai dari sekedar
penyediaan kotak saran, sampai dengan
bentuk praktik-praktik partisipasi yang berhubungan dengan pengendalian
manajemen sampai pengambilan keputusan. Karena itu, praktik manajemen partisipasi ini telah
membawa kesuksesan untuk menciptakan kondisi perburuhan yang kondusif dan damai
di negara-negara wilayah Scandinavia
dan Jerman Barat.
Munculnya teori dan konsep manajemen
partisipasi didasarkan atas beberapa asumsi pendekatan berikut ini : (1)
pengelolaan organisasi/perusahaan bersifat kompleks, (2) manajemen tidak
mungkin akan bisa menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi oleh organisasi/perusahaan,
(3) manajemen modern semakin menuntut adanya spesialisasi pengetahuan, (4)
otoritas dan tanggung jawab dapat dibagi bersama dalam organisasi/perusahaan (shared authority and shared responsibility)
.
Paul (1987) menjelaskan partisipasi
sebagai berikut :
”Participation refers to an active process
whereby benefictartes influences the direction and execution of development
projects rather than merely receive a share of project benefits”
Berdasarkan
pendapat Paul, maka manajemen partisipasi memberikan pengaruh yang sangat
menguntungkan dalam proses pengarahan, pelaksanaan dari sebuah implementasi
kebijakan atau keputusan organisasi, karena itu manajemen partisipasi merupakan suatu proses yang
membutuhkan sikap aktif, kreatif dan
inovatif.
Untuk
lebih dapat memahami manajemen
partisipasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua model pendekatan, yaitu : (1)
model kognitif (cognitive model) dan (2) model afektif (affective model). Dalam
pendekatan model kognitif,
partisipasi dihasilkan melalui
penyediaan informasi yang berkualitas atau bernilai, dari level organisasi yang
lebih rendah terhadap level majemen strategis, sehingga dapat meningkatkan
produktivitas organisasi.
Sedangkan pendekatan afektif, menjelaskan bahwa iklim
partisipasi yang kondusif dalam organisasi dapat memberikan kepuasan, dan membangun motivasi
anggota. Kualitas sikap perilaku anggota
meningkat, dengan mereduksi resistansi terhadap upaya-upaya pencapaian tujuan organisasi. Dengan sikap dan
perilaku anggota organisasi seperti itu, maka produktivitas organisasi akan
meningkat. Hal tersebut seperti dinyatakan oleh French, Israel, dan As
(1960) sebagai berikut :
“When management accords the workers
participation in any important decision, it implies that workers are
intelligent, competent, and valued partners. Thus, participation directly
affets… the perception of being valued, the perception of common goals and
cooperation”.
Sedangkan
dalam konteks pembangunan masyarakat, menurut Ndraha (1987), partisipasi dapat berfungsi sebagai masukan
dan keluaran. Sebagai masukan Ndraha, partisipasi masyarakat dapat berfungsi
dalam enam fase proses pembangunan, mulai dari penerimaan informasi, pemberian
tanggapan terhadap informasi, perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan,
penerimaan kembali hasil pembangunan dan penilaian hasil pembangunan.
Sebagai
masukan, partisipasi masyarakat berfungsi dalam menumbuhkan kemampuan masyarakat
untuk berkembang secara mandiri. Sementara itu, sebagai keluaran, menurut
Ndraha, partisipasi dapat digerakkan atau dibangun, dalam hal ini partisipasi
berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai
upaya yang dilakukan oleh masyarakat.
Dengan
demikian, sebagai keluaran partisipasi dapat distimulasi atau digerakkan
melalui berbagai upaya, baik secara internal maupun eksternal. Melalui berbagai
upaya motivasi, diharapkan patisipasi masyarakat dapat terus berkembang
meningkat, dan pada satu saat tertentu, partisipasi akan menjadi penentu dalam
kesuksesan proses pembangunan masyarakat.
Antara
partisipasi masyarakat dengan kemampuan
masyarakat untuk berkembang secara mandiri (kemandirian masyarakat) dalam
konteks pembagunan masyarakat erat sekali. Kemampuan masyarakat untuk membangun
kemandiriannya sangat ditentukan oleh shared power serta shared
responsibility yang diberikan kepada masyarakat. Karena itu, proses pemberdayaan (empowerment) menjadi kata kunci dalam partisipasi.
DAFTAR
PUSTAKA
A.Qodri Azizy, 2007, Change
Management dalam Reformasi Birokrasi,
Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Fattah, Nanang, (2003), Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung :
Remaja Rosdakarya
Hanif Nurcholis, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah,
Jakarta: Grasindo.
Hikmat,Harry, 2006, Strategi
Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora
Utama Press.
Keith dan Girling, Education, Management and Participation,
London
:
Ally and Bacon
Komar, Oong,
2006, Filsafat Pendidikan Non-Formal, Bandung : Pustaka
Setia.
Kydd, Lesley, dkk., 2004, Professional
Development for Educational Management,
Jakarta : Grasindo.
Moekijat, 2002, Dasar-Dasar Motivasi, Bandung : Pionir Jaya.
Makmur, Syarif, 2008, Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia dan Efektivitas
Organisasi, Jakarta
: Raja Grafindo Persada.
Syafarudin, 2002,
Manajemen Mutu Terpadu Dalam
Pendidikan, Jakarta : Grasindo.
Tilaar, H.A.R., 2003, Manajemen
Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa
Depan, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Wibowo, 2007, Manajemen Kinerja, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar