Dinas Pendidikan Jawa Barat

Dinas Pendidikan Jawa Barat

Jumat, 21 Februari 2014

PEMENUHAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP) Di SEKOLAH SEBAGAI PRASARAT MINIMAL MENUJU PENDIDIKAN MAJU DI JAWA BARAT





 PEMENUHAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN (SNP) DI SEKOLAH SEBAGAI PRASARAT MINIMAL MENUJU PENDIDIKAN MAJU DI JAWA BARAT

Pendidikan merupakan sebuah proses perubahan, yang terjadi sepanjang hayat manusia, baik dalam dimensi individual maupun sosial. Dalam pendidikan terjadi upaya  peningkatan dan pengembangan potensi sumber daya manusia (SDM) dalam rangka kelangsungan hidupnya, baik secara individual maupun kolektif. Semua upaya tersebut berhubungan dengan  lingkungan masyarakat, baik dalam cakupan  lokal, regional dan global.  Pendidikan sebagai wujud dari proses perubahan yang dilakukan secara  sadar, diarahkan untuk menyiapkan SDM, agar dapat memiliki peran dan fungsi dalam lingkungan hidup masyarakat lokal, regional dan global di masa depan. Proses perubahan itu dilakukan  melalui kegiatan pembinaan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan.

Dalam era globalisasi,  setiap bangsa dalam setiap percaturan bidang  seharusnya  menjadi pemain dan pelaku (subyek) yang memiliki eksistensi, bukan malah menjadi korban (obyek). Harapan tersebut dapat terwujud apabila didukung oleh  SDM berkualitas yang  memiliki  keunggulan dan daya saing global. Karena itu, berbagai issue yang muncul dalam rangka globalisasi, seperti demokratisasi, pengembangan dan pemanfaatan IPTEK canggih,  pelestarian lingkungan hidup,  penegakaan HAM, akan lebih terwujud bila  didukung oleh ketersediaan SDM berkualitas, unggul dan berdaya saing.  Karena itu, tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan saat ini dan ke depan adalah bagaimana menciptakan SDM  berkualitas, unggul dan berdaya saing melalui penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.

Namun, bercermin terhadap kinerja penyelenggaraan sistem pendidikan nasional selama ini, ternyata harus diakui bahwa kondisi pendidikan di tanah air pada umumnya belum dapat memenuhi apa yang menjadi harapan di atas. Kinerja penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat dibanggakan untuk ukuran kawasan Asia. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan posisi dari penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia adalah terburuk di kawasan Asia.  Dari  12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia, sedangkan  Indonesia berada pada  urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam. Hasil survei tersebut juga dapat menggambarkan adanya hubungan korelasional  antara buruknya penyelenggaraan sistem pendidikan di tanah air dengan rendahnya  kualitas atau mutu  pembangunan sumber daya manusia di Indonesia yang dilaksanakan selama ini.

Dengan demikian harus diakui bahwa bahwa selama ini dalam  penyelengaraan sistem pendidikan di tanah air, telah terjadi  kesenjangan (gap) terhadap mutu pendidikan. Kesenjangan mutu pendidikan itu  terjadi antara harapan (das sollen) penyelenggaraan sistem pendidikan oleh para stateholders pendidikan, dengan kenyataan atau realitas yang sesungguhnya terjadi  (das sain) tentang mutu pendidikan di tanah air.  Kesenjangan mutu pendidikan tersebut  menggambarkan bahwa dunia pendidikan di tanah air secara umum belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan orang tua dan  masyarakat,  serta pasar pengguna produk pendidikan, sehingga persepsi orang tua dan masyarakat serta pasar  terhadap penyelenggaraan dunia pendidikan masih pesimistik, apatis dan negatif. Terjadinya kesenjangan terhadap mutu pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menentukan penyelenggaraan sistem pendidikan, di antaranya adalah: (1) sarana/prasarana, (2) tenaga pendidik dan kependidikan, (3) kurikulum,  (4) dana, dan lain-lain.  

            Dalam rangka menemukan solusi terhadap persoalan kesenjangan mutu pendidikan di tanah air, maka Pemerintah menerbitkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).  Pemerintah menegaskan bahwa SNP merupakan  kriteria minimal tentang penyelenggaraan sistem pendidikan nasional di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar inilah harus dicapai dalam pelaksanaan urusan pemerintahan bidang pendidikan. Karena itu telah menjadi kewajiban pemerintah  baik di Pusat maupun Daerah untuk memenuhi standar nasional tersebut. Karena itu, tanpa ada pengecualian baik kebijakan, program, dan kegiatan-kegiatan  pembangunan pendidikan di tanah air harus mengarah dalam rangka pencapaian standar minimal tersebut.  SNP yang telah ditetapkan melalui PP Nomor 19 Tahun 2005, mencakup  delapan aspek standar, yaitu : (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan.

         Selanjutnya ditegaskan bahwa fungsi SNP adalah sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Fungsi inilah yang justru menjadi tantangan besar di masa depan untuk para penyelenggara pendidikan, baik dari unsur birokrasi (Dinas Pendidikan), unsur sekolah maupun unsur masyarakat (Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah). Semua kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan yang dirumuskan baik oleh unsur birokrasi dan unsur sekolah  harus berdasarkan SNP. Rencana pengembangan sarana/ prasarana pendidikan pada setiap tahun, seperti berapa unit sekolah baru yang akan dibangun,  berapa ruang laboratorium sains yang harus dibangun, berapa jumlah buku yang harus diadakan, dll; semuanya seharusnya berdasarkan pada  data akurat kesenjangan antara kondisi yang ada di lapangan dengan SNP yang diharapkan. 

Karena itu, menyikapi SNP tersebut   setiap sekolah yang merupakan  organisasi dan sistem yang bersifat dinamis, seharusnya dapat beradaptasi dengan tuntutan perubahan sebagaimana dikehendaki oleh SNP dalam rangka mencapai tujuan  pembelajaran untuk  meraih  keberhasilan anak didik dan sekolah di masa  depan. Dalam rangka melakukan perubahan untuk menyikapi hadirnya SNP dibutuhkan pengelolaan sekolah  melalui tindakan  manajemen perubahan, yang dapat berupa : penerapan cara-cara baru, metode baru, sistem baru,  prosedur baru, manajemen baru sampai dengan organisasi baru dengan mengacu pada standar-standar baru yang ditentukan oleh SNP.

Untuk itu,  sekolah membutuhkan hadirnya paradigma baru dalam kepemimpinan dan pengelolaan (manajemen) sekolah. Paradigma baru kepemimpinan sekolah  akan menentukan pola dan gaya kepemimpinan seorang kepala sekolah untuk mengarahkan sekolah  menuju kemajuan sekolah di masa depan melalui pencapaian SNP. Dalam rangka itu dibutuhkan proses pemberdayaan, kolaborasi dan penciptaan jejaring kerja dan manajemen yang lebih bersifat partisipatif. Sebab, paradigma baru kepemimpinan sekolah dengan penerapan manajemen partisipatif, akan ditentukan oleh proses pemberdayaan (empowerment), yang  merupakan  faktor diterminan terhadap tindakan manajemen partisipasi. Pemberdayaan tersebut akan memiliki orientasi pada 2 (dua) aspek dimensi, yaitu (1) pemberian atau pendelegasian sebagian  kekuasaan,  kekuatan,  atau kemampuan  (power sharing)  atau tanggung jawab (responsibility sharing), dan (2) peningkatan kompetensi, pengetahuan, ketrampilan,  kemandirian serta profesionalisme  setiap komponen/elemen.

            Untuk itu, dapat diprediksi bahwa faktor kepemimpinan sekolah akan sangat menentukan upaya perwujudan pencapaian SNP sebagaimana dikehendaki oleh Pemerintah. Karenanya untuk maksud tersebut, maka setiap aspek dari SNP  oleh Pemerintah diatur ketentuannya melalui penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  (Permendiknas), misalnya Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, dan permendiknas-permendiknas yang lainnya.           

            Keberadaan setiap Permendiknas yang mengatur masing-masing aspek standar, diharapkan dapat membantu setiap penyelenggara pendidikan untuk memiliki acuan atau pedoman  dalam menyediakan standar minimal yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun dalam prakteknya, pemenuhan terhadap ketentuan standar yang dicantumkan dalam permendiknas tersebut, tidaklah mudah diimplementasikan, karena  berbagai faktor banyak yang mempengaruhinya. Walapun demikian untuk mewujudakan pendidikan maju di Jawa Barat maka pemenuhan terhadap pemenuhan Standart Nasional Pendidikan (SNP) di sekolah-sekolah di Jawa Barat menjadi sebuah konsekwensi  pemikiran dan langkah tindakan yang harus dilakukan setiap pemang kepentingan yang terkait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar