Dinas Pendidikan Jawa Barat

Dinas Pendidikan Jawa Barat

Kamis, 27 Februari 2014

HAKEKAT PENDIDIKAN DALAM RANGKA MENCERDASKAN SUMBER DAYA MANUSIA



HAKEKAT PENDIDIKAN DALAM RANGKA MENCERDASKAN 
SUMBER DAYA MANUSIA

Menurut Oong Komar (2006), fenomena pendidikan sangat kompleks, hanya dapat diamati hasil dan perbuatannya.  Dalam pandangan  tradisional, pendidikan merupakan penerusan warisan sosial, sedangan dalam pandangan progresivisme, pendidikan merupakan pertumbuhan dan perkembangan individu.
Menurut Henderson (dalam Oong Komar, 2006:182), pendidikan memiliki segi sosial dan individual. Pendidikan adalah proses hominisasi dan humanisasi, dimana pendidik memanusiakan anak didik dan anak didik  memanusiakan dirinya, karena hakekat pendidikan adalah pengaruh yang diberikan oleh orang yang bertanggungjawab kepada anak agar anak memanusiakan sendiri dalam bentuk kedewasaan. 
Menurut Driyarkara, S.J (1984),  rumusan pendidikan tersebut perlu dimasuki aktivitas pemanusiaan anak  ke alam budaya dan pandangan tentang nilai, sebab pendidikan merupakan perbuatan yang mengubah dan menentukan hidup manusia.  Anak yang dididik akan tumbuh menjadi manusia dan pendidik dengan cara tertentu telah menentukan sikap dan suatu keputusan, yang menurut prinsip kehidupan dan nilai insani yang membangun seluruh hidupnya. 
Hakekat pendidikan sebagai proses warisan sosial, yaitu pendidikan memusatkan usaha pewarisan sosial, dimana pendidikan semata-mata  melayani  tuntutan masyarakat sebagai rekapitulasi masa lampau yang stabil.  Hakekat pendidikan sebagai proses pertumbuhan, dimana pendidikan sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan fisik dan sosialnya sejak lahir dan berlangsung terus sepanjang hidup. Proses tersebut sebagai bagian dari lingkungan sosial dan menjadi alat bagi perkembangan individu (pria dan wanita) yang mengandung warisan sosial dan akan memajukan kesejahteraan manusia.
Kehidupan manusia dalam masyarakat saling berinteraksi dan saling ketergantungan untuk memuaskan keinginannya.  Pemuasan keinginan manusia dalam rangka tugas manusia merealisasikan diri secara optimal dan bersama-sama mencapai kesejahteraaan (co-opertive self-realization). Kesejahteraan hidup manusia berhubungan erat dengan pandangan tentang tujuan akhir manusia yang dapat ditelaah dalam filsafat, agama dan kepercayaan hidup manusia.
 Dalam realitas pendidikan, yang terpenting adalah pelaksanaan pendidikan itu dapat mengembangkan inteligensi, imajinasi kreatif dan karakter/watak individu. Pengembangan inteligensi dimaksudkan untuk memahami dan memecahkan masalah kehidupan atau menyesuaikan dengan keadaan. Pengembangan imajinasi kreatif dimaksudkan untuk belajar berinisiatif dan kreatif dalam mencari alternatif. Sementara itu pengembangan watak dimasudkan untuk membiasakan berbuat berdasarkan prinsip kehidupan agar menjadi suatu prinsip perkembangan kepribadiannya.
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka sesuai dengan penegasan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka  pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional  berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.  UU No. 20/2003  Pasal 3 menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertawqa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Untuk itu, dalam UU No. 20/2003 pasal 4 ayat (3) dijelaskan bahwa  pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; dan ayat (4) dijelaskan pula bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; serta ayat (6), bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat  melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan  pengendalian mutu layanan pendidikan. Karena itu, selanjutnya dalam  UU No. 20/2003  pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; dan ayat (2) ditegaskan setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. 
DAFTAR PUSTAKA 
 Hikmat,Harry, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: 
                                   Humaniora Utama Press
Kydd, Lesley, dkk., 2004, Professional Development for Educational 
                                   Management Jakarta : Grasindo.
 Leo Agustino, 2006, Politik dan Kebijakan Publik, Bandung :
                                 AIPI Bandung – Puslit KP2W Lemlit Unpad.
Makmur, Syarif, 2008,  Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
                                dan Efektivitas Organisasi,  Jakarta :  Raja Grafindo Persada.
             Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Otonomi 
                                Daerah 2004, {Kumpulan  UU Otonomi Daerah Tahun 2004),
                                Bandung: Fokusmedia.
 ----------------, 2003, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem 
                                Pendidikan Nasional, Semarang : Aneka Ilmu.

FAKTOR PEMBERDAYAAAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA



FAKTOR PEMBERDAYAAAN DALAM RANGKA  PENGEMBANGAN 
SUMBER DAYA MANUSIA

Sumber daya manusia memiliki dua aspek, yaitu (1) aspek sumber daya dan (2) aspek manusia. SDM adalah manusia yang tergantung pada dan dipengaruhi oleh lingkungan yang berkepentingan (subyek) dan memerlukan sumber dari lingkungan, bahkan berhak diperlakukan seadil-adilnya oleh lingkungan. Menurut Burns et al sebagaimana dikutip oleh Syarif Makmur (1987), dijelaskan bahwa Manusia berperan penting dalam menentukan aksi sosial dan perkembangan struktural sistem-sistem  sosial.  Khususnya manusia-manusia pelaku yang kuat terlibat dalam membuat keputusan yang strategis dalam pembentukan lembaga-lembaga yang pokok.”
Penjelasan yang dikemukaan oleh Burns et. al tersebut  menunjukkan bahwa kemampuan para aktor sosial bahkan para elite dan pelaku yang berkuasa, untuk melahirkan suatu struktur sosial, formulasi kultural dan pola-pola aksi sosial yang menguntungkan bagi kepentingan mereka sendiri sangat terbatas. 
            Karena itu, maka Nawawi (2001) mengemukakan pendapatnya tentang  SDM adalah sebagai berikut : 
”Pengertian SDM perlu dibedakan pengertiannya secara makro dan mikro. Pengertian SDM secara makro adalah semua manusia sebagai penduduk atau warga negara suatu negara atau dalam batas wilayah tertentu yang sudah memasuki usia angkatan kerja, baik yang sudah atau pun yang belum memperoleh pekerjaan (lapangan kerja).  SDM dalam arti mikro secara sederhana adalah manusia atau orang yang bekerja  atau menjadi anggota suatu organisasi yang disebut personil, pegawai, karyawan, pekerja, tenaga kerja, dll.”

Berdasarkan pengertian SDM seperti yang dijelaskan oleh Nawawi tersebut, maka uraian-uraian mengenai SDM harus ditempatkan dalam kedudukan yang sebenarnya, yaitu sebagai SDM makro atau SDM mikro. Secara mikro, berarti sukses organisasi/perusahaan dalam mencapai tujuannya tidak sekedar ditentukan oleh jumlah SDM yang diperkerjakan, tetapi sangat dipengaruhi oleh kualitas dan sifat-sifat kompetitifnya. 

 Dalam kaitan itu, maka Dessler (1997) menjelaskan bahwa peningkatan produktivitas  merupakan hal yang sangat penting dalam lingkungan kompetitif global dewasa ini; dan SDM memainkan peranan penting dalam menurunkan biaya tenaga kerja, membuat organisasi/perusahaan lebih tanggap terhadap inovasi produk dan perubahan teknologis.

 SDM memainkan peranan penting dalam organisasi/perusahaan, dengan demikian saat ini sudah semakin lazim untuk melibatkan SDM dalam tahap paling awal dari pengembangan dan pengimplementasian rencana strategik perusahaan, lebih dari sekedar membiarkan SDM bereaksi terhadapnya.
           
Menurut Thomason (1997), ada dua hal yang bersumber dalam diri manusia yang dibutuhkan lingkungan, yaitu : (1) a capability for decision and action, dimana hal ini menyangkut dengan skill, capacity dan ability; dan (2) a disposition to cooperate with others (fellow workers and management)  in interdependen and interrelated taks), dimana hal ini menyangkut dengan motivasi atau willingness to contribute work. 
 
Dengan pemahaman tersebut maka dapat dijelaskan bahwa SDM organisasional (SDM mikro) merupakan bagian dari SDM lainnya dalam masyarakat (SDM makro).  SDM makro sebisa mungkin memasuki suatu lapangan kerja (sumber nafkah). Kebutuhan akan pekerjaan mendorong dinamika dan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horizontal  seperi seleksi, persaingan, promosi, urbanisasi, migrasi, bahkan keluarga  berencana.  Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Atmosoeprapto (2002) yang menyatakan sebagai berikut : 
”Dalam suatu organisasi, pengembangan organisasi (organiztion development) menuntut perkembangan SDM. Sebaliknya pengembangan SDM memungkinkan pengembangan organisasi. Untuk mencapai kinerja organisasi yang baik, kedua-duanya harus berkembang bersama-sama secara seimbang”.
 
Pengembangan organisasi tanpa didukung oleh pengembangan SDM akan membuat organisasi berkembang tersendat-sendat, sehingga efektivitasnya menurun dan produktivitasnya juga menurun.  Sebaliknya,  pengembangan SDM tanpa diikuti  pengembangan organisasi hanya akan menaikkan biaya overhead dan biaya tetap, serta potensi yang idle, yang berarti rendahnya efisiensi dan pada akhirnya juga akan menurunkan produktivitas organisasi.
Selanjutnya, Atmosoeprapto menjelaskan bahwa sebagai berikut : 
"SDM yang berkembang berarti juga individu yang berkembang ataupun individu yang berdaya atau bisa juga disebut individu pembelajar. Manusia yang tidak berkembang bisa menjadi beban dalam organisasi, namun bila ia dikembangkan akan menjadi SDM yang potensial".

Dengan demikian SDM yang berkembang adalah SDM yang diberdayakan. Dengan pemberdayaan SDM akan dapat memacu  kinerja organisasi, yaitu meningkatnya produktivitas, kualitas kerja, dan mencapai efektivitas dan efisiensi organisasi.
Apabila upaya meningkatkan mutu SDM  hanya menyangkut segi ketrampilan atau profesionalisme saja adalah kekeliruan besar. Sebab menurut Soewardi (2002) : 
Mutu SDM pertama-tama  ditentukan oleh personality atau kepribadian. Di negara kita, kepribadian ini pertama-tama harus dibentuk terlebih dahulu, yaitu kepribadian yang bermoral tinggi, sesuai dengan permintan zaman (modern), dan bermotivasi yang kuat. Tiadanya unsur-unsur itu menjadikan manusia Indonesia terombang-ambing, lemah karsa, mudah diarahkan kepada hal-hal yang bengkok, dsbnya”.
 
Karena permasalahan moral, bangsa Indonesia sangat sulit keluar dari krisis multidimensi yang dialaminya.  Soewardi selanjutnya mengatakan : 
”Menurut teori-teori ilmu sosial, faktor-faktor internal/kepribadian itu terpaut erat dengan faktor kultural di dalam mana kepribadian itu ditempa. Kita sangat maklum bahwa faktor-faktor kultural ini berada dalam keadaan lemah atau lunak, yang disebut soft culture”.
 
Kultur lemah inilah yang menghambat kita ke arah kemajuan. Di dalam kultur lunak orang tidak dilecut untuk maju, tetapi dibiarkan kepada masing-masing. Maka mutu SDM kita berkarakter lemah, mudah diajak, tidak termotivasi untuk maju. Dalam konteks ini, pentingnya dorongan yang berasal dari seseorang bagi perbaikan keadaan diri dan lingkungan sebagaimana dikemukakan Mc Clelland (1961) dengan teori Need for Achievement nya, yaitu : 
”Kegagalam pembangunan sebuah masyarakat disebabkan karena warga masyarakat tersebut tidak memiliki motivasi untuk berprestasi atau tidak memiliki need for achievement, sehingga warga masyarakat bersikap fatalistis dan menerima nasibnya tanpa perlawanan”.

Menurut teori ini, agar pembangunan  berhasil, sikap masyarakat harus diubah dan didorong untuk memiliki Need for Achievement. Salah satu cara yang diajukan oleh teori ini  adalah mendidik mereka. Di samping mengubah sikap yang pasrah  menjadi sikap yang berani melawan nasib.  Oleh karena itu, masalah rendahnya motivasi berprestasi menjadi masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan birokrasi pemerintah saat ini. Untuk dapat keluar dari masalah-masalah tersebut, maka menurut Clutterbuck (2003) diperlukan pemberdayaan
 Pemberdayaan  dalam konteks pengembagan SDM  organisasi, ditempatkan tidak saja menjadi gerakan dalam meningkatkan produktivitas kerja, tetapi pemberdayaan dijadikan sebagai budaya organisasi Stewart (1998). Menurut Bookman dan Sandra (1988), pemberdayaan sebagai konsep yang sedang populer mengacu pada usaha menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke  atas serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang berdaya.   

DAFTAR PUSTAKA 
 Hikmat,Harry, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: 
                                   Humaniora Utama Press
Kydd, Lesley, dkk., 2004, Professional Development for Educational 
                                   Management Jakarta : Grasindo.
 Leo Agustino, 2006, Politik dan Kebijakan Publik, Bandung :
                                 AIPI Bandung – Puslit KP2W Lemlit Unpad.
Makmur, Syarif, 2008,  Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
                                dan Efektivitas Organisasi,  Jakarta :  Raja Grafindo Persada.