Dinas Pendidikan Jawa Barat

Dinas Pendidikan Jawa Barat

Selasa, 01 April 2014

ARTIKEL RISET - 1



Hal-1
Hal-2
Hal-3
hal-4
Hal-5
 (Sumber Warta Bappeda Vol.25-No.I - Jan s/d Mrt 2014)

Jumat, 28 Maret 2014

MANAJEMEN KINERJA ORGANISASI


MANAJEMEN KINERJA ORGANISASI
           
Suatu organisasi  dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan organisasi untuk diapai. Tujuan organisasi dapat berupa perbaikan pelayanan pelanggan, pemenuhan permintaan pasar, peningkatan kualitas produk  atau jasa, peningkatan daya saing, dan peningkatan kinerja organisasi. Setiap organisasi, tim, dan individu dapat menuntukan tujuannya sendiri.
Pencapaian tujuan organisasi menunjukkan hasil kerja atau prestasi kerja organisasi dan menunjukkan performa organisasi.  Hasil kerja organisasi diperoleh dari serangkaian aktivitas yang dijalankan organisasi. Aktivitas organisasi dapat berupa pengelolaan sumber daya organisasi maupun proses pelaksanaan kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk menjamin agar aktivitas organisasi dapat mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan manajemen dalam pelaksanaan aktivitasnya. 
Menurut Stoner dan Freeman (1992), ”manajemen merupakan suatu proses menggunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi melalui fungsi planning dan decision making, organizing, leading dan controlling”.Sehingga dengan demikian  manajemen dikatakan sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengawasi pekerjaan anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi yang tersedia untuk mencapai tujuan organisasi  yang dinyatakan dengan jelas. Sedangkan Robbin dan Coultar(1996), menyatakan bahwa manajemen sebagai suatu proses untuk membuat aktivitas terselesaikan  secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain”.  Efisiensi menunjukkan hubungan antara input dan output  dengan mencari biaya sumber daya minimum, sedangkan efektif menunjukkan makna pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kinerja diterjemahkan dari kata ”performance”, yang berhubungan dengan hakekat hasil kerja atau prestasi kerja atau unjuk kerja.  Kinerja memiliki makna yang lebih luas, bukan hanya menyatakan hasil kerja (output), tetapi juga bagaimana proses pekerjaan untuk mencapai hasil tersebut dilakukan (process).  Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya Menurut Amstrong dan Baron (1998), ”kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi ekonomi”. Dengan memahami pengertian ’manajemen’ dan ’kinerja’ sebagaimana di atas maka hakikat manajemen kinerja secara ringkas adalah tentang bagaimana kinerja dikelola (manage).
Sedangkan dasar-dasar  untuk menyelenggarakan terwujudnya  manajemen kinerja antara lain: (1) adanya perumusan tujuan, (2) adanya konsensus dan kerja sama, (3) sifatnya berkelanjutan,  (4) terjadinya komunikasi dua arah, dan (5) adanya umpan balik.  Penyelenggaraan manajemen kinerja akan memberikan manfaat bagi organisasi, tim  dan individu dalam organisasi.
Manajemen kinerja mendukung  tujuan menyeluruh organisasi dengan mengaitkan kegiatan, aktivitas atau pekerjaan setiap individu, tim, dan pimpinan organisasi, yang semuanya diakui memainkan peran dalam menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi.
Berkenaan dengan hal tersebut, Costello (1994) mengatakan : 
”Apabila setiap individu memahami mengenai apa yang diharapkan dari mereka dan mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk memberikan kontribusi pada organisasi secara efisien dan produktif, maka  pemahaman akan tujuan,  motivasi, dan harga dirinya  akan meningkat”.
 Penyelenggaraan manajemen kinerja dimulai dengan perumusan dan penetapan tujuan organisasi. Tujuan organisasi akan dicapai melalui pelaksanaan serangkaian tindakan atau aktivitas dengan menggunakan sumber daya organisasi yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, penetapan tujuan organisasi merupakan langkah awal perencanaan kinerja organisasi, dimana kinerja merupakan bentuk implementasi dari rencana yang telah disusun. Implementasi kinerja dilakukan oleh sumber daya organisai, mulai dari individu, tim dan pimpinan yang memiliki kemampuan,  motivasi  dan  kepentingan.    Penghargaan  organisasi dalammemperlakukan sumber daya organisasi pada akhirnya akan sangat mempengaruhi  sikap dan perilaku sumber daya dalam mengimplementasikan kinerja.
Dengan demikian manajemen kinerja merupakan kebutuhan mutlak bagi organisasi untuk mencapai tujuan dengan mengatur kerja sama secara harmonis dan terintegrasi antara individu, tim dan pimpinan dalam organisasi.  Manajemen kinerja akan memberikan manfaat bukan hanya  kepada organisasi, tetapi juga pimpinan, dan individu,  antara lain : (1) Menyesuaikan tujuan organisasi dengan tujuan tim dan individu, (2) Memperbaiki kinerja, (3) Memotivasi pekerja, (4) Meningkatkan komitmen, (5) Mendukung nilai-nilai inti, (6) Mendukung inisiatif  kualitas total dan pelayanan pelanggan, dan (7) Mendukung program perubahan budaya. Selanjutnya, menurut Wibowo (2007) dalam bukunya Manajemen Kinerja mengatakan bahwa :  
Manajemen kinerja bekerja atas prinsip dasar yang dapat dijadikan acuan bersama agar dapat mencapai hasil  yang diharapkan bersama. Prinsip dasar manajemen kinerja menjadi pondasi yang kuat bagi kinerja organisasi untuk mencapai tujuan. Sebagai prinsip dasar dalam manajemen kinerja adalah menghargai kejujuran, memberikan pelayanan, tanggungjawab, dirasakan seperti bermain (ikhlas, jangan dijadikan beban), adanya perasaan kasihan (empati),  adanya perumusan tujuan, terdapat konsensus dan kerja sama, sifatnya berkelanjutan, terjadi komunikasi dua arah dan mendapatkan umpan balik”   

Pada akhirnya, manajemen kinerja melakukan pendekatan secara holistik atau menyeluruh dalam mengelola kinerja yang menjadi kepentingan bersama (individu, tim dan pimpinan) dalam organisasi.  Manajemen kinerje akan mengelola semua sumber daya dalam organisasi sehingga mewujud menjadi masukan (input),  implementasi kinerja (proses), keluaran atau hasil kinerja (output), dan manfaat kinerja (outcome) serta dampak kinerja  (impact).  

DAFTAR PUSTAKA
            Tripomo, Tedjo, dkk.,2005, Manajemen Strategi, Bandung : Rekayasa Sains.

             Umar, Husien, 2003,   Strategic Management in Action, Jakarta: 
                          Gramedia Pustaka Utama.
             
             Wibowo, 2007, Manajemen Kinerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Jumat, 14 Maret 2014

PENINGKATAN KOMPETENSI SDM MELALUI KURIKULUM PENDIDIKAN



PENINGKATAN KOMPETENSI SDM MELALUI KURIKULUM PENDIDIKAN 



Menurut Nana Syaodih, dkk (2006),  kompetensi sering disebut sebagai kecakapan, kebisaan atau kemampuan, yang mengandung makna lebih dalam yang berhubungan dengan perilaku atau performansi yang diperlihatkan oleh seseorang dalam beraktivitas, melaksanakan tugas, menyelesaikan pekerjaan, dan menyelesaikan masalah. Perilaku atau performansi tersebut senantiasa dinyatakan dalam perbuatan atau sesuatu yang dapat diamati atau diukur.
 Robbin mendefinisikan kemampuan sebagai berikut :
”Kemampuan adalah kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan seseorang pada hakikatnya tersusun atas dua perangkat faktor, yaitu (1) kemampuan intelektual dan (2) kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan  mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kekuatan dan ketrampilan serupa”.

Dengan demikian, diharapkan dengan meningkatnya kemampuan seseorang  baik secara intelektual dan fisik, maka  akan  dapat memberikan kontribusinya secara maksimal terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Dalam konteks hidup berorganisasi, dimensi kemampuan seseorang dalam suatu organisasi bertalian erat dengan partisipasinya dalam organisasi. Ketersediaan seseorang untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan untuk berkembang secara mandiri. Seperti apa yang dinyatakan oleh Tilaar (1997) :  
”Suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah suatu masyarakat yang mengetahui  potensi dan kemampuannya termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya. Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya, termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya, bahkan pada tingkat regional dan internasional.”

Dengan demikian sangatlah jelas, bahwa partisipasi seseorang sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimilikinya. Semakin tinggi tingkat kemampuan pemahaman akan sesuatu yang diketahui , seseorang akan semakin tinggi pula partisipasinya  dalam setiap kegiatan, program maupun proyek yang dilaksanakan, dimanapun seseorang itu  berada.  Apabila kemampuan seseorang  meningkat, maka diharapkan dirinya akan semakin mampu memecahkan masalahnya sendiri.
 Menurut Blanchard dan Hersey (1995), paling tidak ada tiga bidang kemampuan yang diperlukan untuk sebuah proses manajemen yaitu (1) kemampuan teknis, (2) kemampuan sosial dan (3) kemampuan konseptual.  Kemapuan teknis (technical skill), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode,  teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu. 

Kemampuan ini diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan training.  Kemampuan sosial (social skill), yaitu kemampuan dalam bekerja dengan atau melalui orang lain. Kemampuan konseptual (conceptual skill), yaitu kemampuan dalam memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit kerja masing-masing ke dalam bidang operasi organisasi secara menyeluruh.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pengembangan kemampuan masyarakat, seperti yang disampaikan oleh Sihombing (2000), bahwa pendidikan memfokuskan diri pada pengembangan kepribadian dan sikap mental yang berpengaruh terhadap kematangan perilaku. Hal tersebut selajan dengan pemikiran Supriatna (1997)  yang menyatakan sebagai berikut :
”Pendidikan sebagai sarana transformasi budaya dalam meningkatkan pendidikan sumber daya manusia sangat relevan dengan aspek survival, kemerdekaan, humanisasi, pemberdayaan, dan rasionalisasi. Tujuan akhir proses transformasi ini ialah terciptanya produktivitas, etos kerja, kemandirian, dan jati diri manusia yang unggul untuk memenuhi tuntutan pembangunan”
  Sementara itu,  The Lian Gie (2003) dalam bukunya Efisiensi Untuk Meraih Sukses mengemukakan teori tentang ketrampilan sebagai berikut : 
”Kegiatan menguasai suatu ketrampilan dengan tambahan bahwa mempelajari ketrampilan harus dibarengi dengan kegiatan praktik, berlatih, dan mengulang-ulang suatu kerja. Seseorang yang  memahami semua asas, metode, pengetahuan dan teori dan mampu melaksanakan secara praktis adalah orang yang mampu memiliki ketrampilan”.
Selanjutnya, Gie mengatakan :
 ”Kegiatan menuntut pengetahuan dan ketrampilan, selain dilakukan melalui suatu sekolah, lembaga pendidikan, atau kursus, dapat ditempuh juga dengan belajar sendiri dengan mengembangkan berbagai ketrampilan belajar. Ketrampilan belajar banyak sekali macamnya, seperti ketrampilan mencatat bacaan, ketrampilan memusatkan perhatian, ketrampilan berpikir, khususnya berpikir secara lincah”.

 Dengan demikian, maka pengembangan model kurikulum sebagai salah satu perangkat dalam penyelenggaraan pendidikan memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis, dalam upaya meningkatkan mutu kompetensi lulusan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan, Remaja Rosda Karya,
           Bandung, 1996.
Jasfar, Farida.  Manajemen Jasa Pendekatan Terpadu, Ghalia Indonesia,  
            Bogor, 2005.
Kydd, Lesley, dkk. Professional Development for Educational Management, 
          Grasindo,  Jakarta, 2004.
Makmur, Syarif, Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Efektivitas
           Organisasi,  Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008
 Safaria, Triantoro, Kepemimpinan, Graha Ilmu, Yogjakarta, 2004
 Syafarudin.  Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan, Grasindo,  Jakarta, 2002

FAKTOR KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PERWUJUDAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN



FAKTOR KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM PERWUJUDAN
 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN


Pendidikan merupakan sebuah proses perubahan, yang terjadi sepanjang hayat manusia, baik dalam dimensi individual maupun sosial. Dalam pendidikan terjadi upaya  peningkatan dan pengembangan potensi sumber daya manusia (SDM) dalam rangka kelangsungan hidupnya, baik secara individual maupun kolektif. Semua upaya tersebut berhubungan dengan  lingkungan masyarakat, baik dalam cakupan  lokal, regional dan global.  Pendidikan sebagai wujud dari proses perubahan yang dilakukan secara  sadar, diarahkan untuk menyiapkan SDM, agar dapat memiliki peran dan fungsi dalam lingkungan hidup masyarakat lokal, regional dan global di masa depan. Proses perubahan itu dilakukan  melalui kegiatan pembinaan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan.

Dalam era globalisasi,  setiap bangsa dalam setiap percaturan bidang  seharusnya  menjadi pemain dan pelaku (subyek) yang memiliki eksistensi, bukan malah menjadi korban (obyek). Harapan tersebut dapat terwujud apabila didukung oleh  SDM berkualitas yang  memiliki  keunggulan dan daya saing global. Karena itu, berbagai issue yang muncul dalam rangka globalisasi, seperti demokratisasi, pengembangan dan pemanfaatan IPTEK canggih,  pelestarian lingkungan hidup,  penegakaan HAM, akan lebih terwujud bila  didukung oleh ketersediaan SDM berkualitas, unggul dan berdaya saing.  Karena itu, tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan saat ini dan ke depan adalah bagaimana menciptakan SDM  berkualitas, unggul dan berdaya saing melalui penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
Namun, bercermin terhadap kinerja penyelenggaraan sistem pendidikan nasional selama ini, ternyata harus diakui bahwa kondisi pendidikan di tanah air pada umumnya belum dapat memenuhi apa yang menjadi harapan di atas. Kinerja penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat dibanggakan untuk ukuran kawasan Asia. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan posisi dari penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia adalah terburuk di kawasan Asia.  Dari  12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia, sedangkan  Indonesia berada pada  urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam. Hasil survei tersebut juga dapat menggambarkan adanya hubungan korelasional  antara buruknya penyelenggaraan sistem pendidikan di tanah air dengan rendahnya  kualitas atau mutu  pembangunan sumber daya manusia di Indonesia yang dilaksanakan selama ini.
Dengan demikian harus diakui bahwa bahwa selama ini dalam  penyelengaraan sistem pendidikan di tanah air, telah terjadi  kesenjangan (gap) terhadap mutu pendidikan. Kesenjangan mutu pendidikan itu  terjadi antara harapan (das sollen) penyelenggaraan sistem pendidikan oleh para stateholders pendidikan, dengan kenyataan atau realitas yang sesungguhnya terjadi  (das sain) tentang mutu pendidikan di tanah air.  Kesenjangan mutu pendidikan tersebut  menggambarkan bahwa dunia pendidikan di tanah air secara umum belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan orang tua dan  masyarakat,  serta pasar pengguna produk pendidikan, sehingga persepsi orang tua dan masyarakat serta pasar  terhadap penyelenggaraan dunia pendidikan masih pesimistik, apatis dan negatif. Terjadinya kesenjangan terhadap mutu pendidikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menentukan penyelenggaraan sistem pendidikan, di antaranya adalah: (1) sarana/prasarana, (2) tenaga pendidik dan kependidikan, (3) kurikulum,  (4) dana, dan lain-lain. 
            Dalam rangka menemukan solusi terhadap persoalan kesenjangan mutu pendidikan di tanah air, maka Pemerintah menerbitkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).  Pemerintah menegaskan bahwa SNP merupakan  kriteria minimal tentang penyelenggaraan sistem pendidikan nasional di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar inilah harus dicapai dalam pelaksanaan urusan pemerintahan bidang pendidikan. Karena itu telah menjadi kewajiban pemerintah  baik di Pusat maupun Daerah untuk memenuhi standar nasional tersebut. Karena itu, tanpa ada pengecualian baik kebijakan, program, dan kegiatan-kegiatan  pembangunan pendidikan di tanah air harus mengarah dalam rangka pencapaian standar minimal tersebut.  SNP yang telah ditetapkan melalui PP Nomor 19 Tahun 2005, mencakup  delapan aspek standar, yaitu : (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan.
         Selanjutnya ditegaskan bahwa fungsi SNP adalah sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Fungsi inilah yang justru menjadi tantangan besar di masa depan untuk para penyelenggara pendidikan, baik dari unsur birokrasi (Dinas Pendidikan), unsur sekolah maupun unsur masyarakat (Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah). Semua kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pendidikan yang dirumuskan baik oleh unsur birokrasi dan unsur sekolah  harus berdasarkan SNP. Rencana pengembangan sarana/ prasarana pendidikan pada setiap tahun, seperti berapa unit sekolah baru yang akan dibangun,  berapa ruang laboratorium sains yang harus dibangun, berapa jumlah buku yang harus diadakan, dll; semuanya seharusnya berdasarkan pada  data akurat kesenjangan antara kondisi yang ada di lapangan dengan SNP yang diharapkan.
Karena itu, menyikapi SNP tersebut   setiap sekolah yang merupakan  organisasi dan sistem yang bersifat dinamis, seharusnya dapat beradaptasi dengan tuntutan perubahan sebagaimana dikehendaki oleh SNP dalam rangka mencapai tujuan  pembelajaran untuk  meraih  keberhasilan anak didik dan sekolah di masa  depan. Dalam rangka melakukan perubahan untuk menyikapi hadirnya SNP dibutuhkan pengelolaan sekolah  melalui tindakan  manajemen perubahan, yang dapat berupa : penerapan cara-cara baru, metode baru, sistem baru,  prosedur baru, manajemen baru sampai dengan organisasi baru dengan mengacu pada standar-standar baru yang ditentukan oleh SNP.
Untuk itu,  sekolah membutuhkan hadirnya paradigma baru dalam kepemimpinan dan pengelolaan (manajemen) sekolah. Paradigma baru kepemimpinan sekolah  akan menentukan pola dan gaya kepemimpinan seorang kepala sekolah untuk mengarahkan sekolah  menuju kemajuan sekolah di masa depan melalui pencapaian SNP. Dalam rangka itu dibutuhkan proses pemberdayaan, kolaborasi dan penciptaan jejaring kerja dan manajemen yang lebih bersifat partisipatif. Sebab, paradigma baru kepemimpinan sekolah dengan penerapan manajemen partisipatif, akan ditentukan oleh proses pemberdayaan (empowerment), yang  merupakan  faktor diterminan terhadap tindakan manajemen partisipasi. Pemberdayaan tersebut akan memiliki orientasi pada 2 (dua) aspek dimensi, yaitu (1) pemberian atau pendelegasian sebagian  kekuasaan,  kekuatan,  atau kemampuan  (power sharing)  atau tanggung jawab (responsibility sharing), dan (2) peningkatan kompetensi, pengetahuan, ketrampilan,  kemandirian serta profesionalisme  setiap komponen/elemen.
     Untuk itu, dapat diprediksi bahwa faktor kepemimpinan sekolah akan sangat menentukan upaya perwujudan pencapaian SNP sebagaimana dikehendaki oleh Pemerintah. Karenanya untuk maksud tersebut, maka setiap aspek dari SNP  oleh Pemerintah diatur ketentuannya melalui penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  (Permendiknas), misalnya Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, dan permendiknas-permendiknas yang lainnya.
      Keberadaan setiap Permendiknas yang mengatur masing-masing aspek standar, diharapkan dapat membantu setiap penyelenggara pendidikan untuk memiliki acuan atau pedoman  dalam menyediakan standar minimal yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun dalam prakteknya, pemenuhan terhadap ketentuan standar yang dicantumkan dalam permendiknas tersebut, tidaklah mudah diimplementasikan, karena  berbagai faktor banyak yang mempengaruhinya. 

DAFTAR PUSTAKA
 
Kydd, Lesley, dkk., 2004, Professional Development for Educational
           Management,  Jakarta : Grasindo.

Makmur, Syarif, 2008,  Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan
           Efektivitas  Organisasi,  Jakarta :  Raja Grafindo Persada.

Syafarudin, 2002,  Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan, Jakarta : Grasindo.

Tilaar, H.A.R., 2003, Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan
             Masa Depan, Bandung : Remaja Rosdakarya.
-----------------, 2006, Standarisasi Pendidikan Nasional : Suatu Tinjauan Kritis,
             Bandung : Rineka Cipta.