Dinas Pendidikan Jawa Barat

Dinas Pendidikan Jawa Barat

Selasa, 18 Februari 2014

EFEKTIVITAS DALAM SISTEM ORGANISASI SEKOLAH



  EFEKTIVITAS DALAM SISTEM ORGANISASI  SEKOLAH 


A. SEKOLAH SEBAGAI SISTEM ORGANISASI DINAMIS 

Pendekatan dalam perspektif manajemen ilmiah (scientific management) digunakan untuk lebih dapat memahami pengertian  tentang sekolah sebagai suatu organsisasi dan sistem.  Pandangan sekolah sebagai organisasi dan sistem bertitik tolak dari pemahaman Teori Sistem.  Teori Sistem memberikan focus perhatian pada  adanya hubungan antar subsistem dalam satu sistem, dan antar  sistem dengan sistem lainnya, yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Hubungan tersebut dapat  diatur dalam dalam sistem hirarki melalui struktur organisasi. Struktur organisasi adalah sebuah stuktur yang mendefisinikan dan mengatur hubungan sistem hirarki (hierarchical system), menyangkut   masalah otoritas (authority), tanggung jawab (responsibility) dan otonomi (autonomy) level  individual atau level  bagian/unit  pada organisasi. 

Berdasarkan Teori Sistem, sekolah merupakan organisasi yang terdiri atas bagian-bagian atau unit-unit kerja (subsistem) yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Beberapa unit kerja dasar yang terdapat di dalam sistem sekolah, antara lain : (1) bagian pengajaran (teaching), (2) bagian pendukung (supporting) dan (3) bagian administrasi (administration). Dampak hubungan antar subsistem  di sekolah  adalah terjadinya proses interkasi antar bagian dan unit kerja. Interkasi antar bagian dan unit kerja di sekolah selanjutnya  menciptakan suatu sinergitas  kerja sama, aliran komunikasi, dan umpan balik.  

Menurut Blau dan Scott (1962)  sekolah dapat menciptakan peluang bagi semua komponen atau elemen di sekolah untuk saling bekerja sama, terutama dalam hal-hal seperti : (1) penetapan tujuan sekolah, (2) penetapan strategi pencapaian tujuan sekolah, (3) penetapan fungsi dan peran masing-masing setiap komponen di sekolah, (4) penetapan dalam membentuk  stuktur organisasi sekolah, dan (5) penetapan dalam memilih pimpinan sekolah.

Masih dalam pandangan Teori Sistem, sekolah juga menjadi bagian (subsistem) dari sistem yang lebih makro (supra sistem) yang  dapat  saling  memberikan pengaruh satu sama lain. Supra sistem sekolah adalah pengelola pendidikan di setiap wilayah sekolah, dengan beberapa subsistem di dalamnya, antara lain : (1) bagian administrasi personalia (yang mengelola personalia pendidikan : guru, kepala sekolah, pengawas), (2) bagian khusus/spesialist  pendidikan yang mengelola kurikulum, test atau ujian, serta bagian pendukung  yang menangani hal-hal yang bersifat umum (sarana/prasarana, rumah tangga kantor, dsbnya).

Sekolah adalah sebuah organisasi dengan karakter organisasi umumnya yang memiliki memiliki keunikan tersendiri yang dapat dibedakan  dari  organisasi lainnya. Sekolah berbeda dengan perusahaan bisnis, industri pabrik, partai-partai politik, assosiasi profesi,  organisasi kemasyarakatan. Sebagai sebuah organisasi, karakter yang tampak dari sekolah adalah di dalamnya terdapat kumpulan dari orang-orang dengan berbagai macam latar belakang yang berbeda (jenis kelamin, usia, status sosial, ekonomi, pekerjaan, agama, etnis, dsbnya). 

Sebagai sebuah organisasi, sekolah memiliki tujuan yang akan dicapai bersama. Dengan adanya tujuan yang akan dicapai, mengindikasikan bahwa sekolah merupakan organisasi yang bersifat dinamis, artinya sekolah senantiasa akan bergerak dan berkembang, beradaptasi dengan proses perubahan yang terjadi. Sekolah sebagai organisasi yang mengalami transformasi, sehingga mengikuti fase kelahiran, perkembangan, dan perubahan. Perubahan sekolah akan menyangkut ukuran (size), skala (scale) dan pengendalian (control) Dengan dinamika yang dimilikinya, maka sekolah cepat dapat beradabtasi dengan perubahan yang terjadi pada  lingkungan masyarakat. 

Dinamika sekolah sebagai organisasi dinamis yang mengalami perubahan,  diilustrasikan  oleh Dreeben (1968). Pada  saat itu, sekolah harus melakukan  perubahan orientasi  terhadap fungsi sekolah yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang menyebabkan sekolah menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya. Dreeben mengilustrasikan bahwa sekolah seharusnya berfungsi  untuk  menghantarkan  anak  didik  menuju  masyarakat   yang   lebih   maju  melalui
penanaman sikap (attitude), melalui prinsip-prinsip : (1) independensi, (2) mengejar pencapaian satu standar, (3) universal, sesuai dengan kondisi/karakter sosial masyarakat, (4) spesialisasi, sesuai dengan kebutuhan perkembangan industri.  

Namun, suatu saat sekolah berlebihan dalam menterjemahkan prinsip-prinsip tersebut, yang tidak mengakar kepada budaya masyarakat yang ada. Hal tersebut  mengakibatkan terjadinya keterasingan antara sekolah dengan struktur masyarakat yang ada. Pelaksanaan fungsi sekolah dengan penterjemahan prinsip-prinsip secara  berlebihan malah mengakibatkan terjadinya penumpukan pengagguran, sekolah membangun  ’gap’  kaya-miskin,  sekolah menciptakan kesenjangan gender, sekolah mempertajam rasialisme, dll.  

Karena itu, munculah sikap dan pikiran kritis dari para pendidik, ilmuwan dan masyarakat luas, sebagai respon atas berjalannya fungsi sekolah yang berlebihan.
Solusi yang ditawarkan melalui pendekatan manajemen, antara lain : (1)  menerapkan proses manajemen dalam penyelenggaraan sekolah,  (2) pengembangan struktur organisasi sekolah, (3) pengembangan sistem prosedur sekolah, (4) pengelolaan sumber daya sekolah, (5) melakukan proses pemberdayaan semua komponen sekolah. 

Dalam perspektif organisasi yang dinamis, penetapan fungsi sekolah dilakukan dengan mengikuti dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat,  agar sekolah berjalan sesuai dengan tujuan yang akan dicapainya  Karena itu fungsi sekolah ditetapkan secara khas, agar dapat  memberikan pendidikan kepada anak didik, sehingga dapat  memiliki kemampuan akademik (membaca, menulis, dan berhitung) serta pengetahuan-pengetahuan lain yang dibutuhkan seperti sejarah, kebudayaan, dll, yang bermanfaat bagi masa depan anak didik. Dengan penetapan fungsi sekolah seperti ini, maka sekolah secara organisasi dapat dibedakan dari organisasi-organisasi lainnya. 

John Dewey, seperti dikutip oleh Scotter dkk (1979) mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara sekolah dengan pembudayaan masyarakat. Dikatakan bahwa pendidikan adalah embrio masyarakat berbudaya tinggi. Dalam praktiknya, sekolah menciptakan lingkungan pembelajaran bagi anak didik, dengan perpustakaan, lapangan olah raga,  bidang pekerjaan, seni dan musik, laboratorium, sains, taman dan tempat bermain. Di luar kelas, sekolah menjadi pusat dinamika perkembangan masyarakat.  

Karena itu,  sekolah tidak dapat dibiarkan tumbuh begitu saja, namun sekolah membutuhkan suatu sistem pengelolaan yang baik agar menjadi sekolah bermutu,  mengingat sekolah telah menjadi kebutuhan universal, dan  senantiasa menghadapi berbagai perubahan dalam dinamika lingkungan eksternal. Dengan demikian  fungsi-fungsi sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal sebagaimana dikatakan oleh Ben M. Harris (1975) dalam buku Supervisory Behavior in Education dapat diwujudkan, yaitu : (1) mengajar, (2) pelayanan khusus kepada anak didik, (3)  manajemen, (4) supervisi  (pengawasan), dan (5) administrasi.  Semua fungsi sekolah  pada akhirnya diharapkan akan bermuara pada pencapaian tujuan yaitu hasil pembelajaran anak didik yang berkualitas. Penekanan tujuan akhir dengan  orientasi kepada anak didik itulah, yang membedakan sekolah dari lembaga atau institusi  lainnya.  
          
            Dinamika perubahan sekolah sangat dipengaruhi oleh dinamika perkembangan sistem  pendidikan yang semuanya terpengaruh  oleh dinamika  perkembangan sosial masyarakat. Karenanya dinamika sosial masyarakat dapat ditempatkan  sebagai demographic forces dari dinamika sistem pendidikan maupun dinamika sekolah. Ilustrasi perubahan sistem pendidikan karena terpengaruh oleh transformasi  masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri/pabrik di USA pada akhir abad 19,  merupakan salah satu contoh yang dapat diberikan. Arus imigran dari Eropa yang melanda USA, telah membawa perubahan pada tatanan masyarakat menuju masyarakat berbasis kegiatan  industri. Akibatnya harus dilakukan perubahan pada sistem pendidikan termasuk gagasan tentang sekolah-sekolah di USA, yang memungkinkan untuk mempersiapan SDM yang berorientasi pada factory life ataupun  corporate world (Callahan, 1962).

Dinamika sekolah juga dapat dipengaruhi oleh democratic forces. Demokratisasi membawa perubahan dengan semakin terbukanya masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan, termasuk dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Dalam sistem yang lebih demokratis, maka sekolah harus dapat memberikan peluang bagi  masyarakat, untuk  dapat  berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Fenomena tersebut terjadi pada periode 1960-1970 di USA, dimana masyarakat mengambil bagian dalam pengendalian dan pengawasan sekolah. 

Dinamika sekolah dapat dipengaruhi oleh economic forces. Laju pertumbuhan ekonomi  identik dengan laju pengembangan sistem pendidikan atau sekolah. Gambaran laju pertumbuhan ekonomi di USA pada tahun 1970 pada kondisi a steady state, memberikan ilustrasi tentang masa suram pengembangan sistem pendidikan dan sekolah di USA. Pada masa itu, sistem pendidikan di USA sangat menurun, ditandai dengan laju perkembangan sekolah yang lambat, dan banyak keluarnya anak-anak didik dari sekolah,  karena tekanan ekonomi.  Fenomena tersebut, identik dengan kondisi yang menimpa sistem pendidikan dan sekolah di Indonesia pasca  krisis moneter di pertengahan tahun 1997, dimana ditunjukkan semakin tingginya angka Drop Out (DO) anak-anak didik karena tekanan ekonomi, dan semakin banyaknya ruang kelas dan banguan sekolah SD/MI  yang roboh karena ketidakmampuan pembiayaan untuk proses rehabilitasi atau renovasi.

            Demikian pula, dinamika sekolah dapat terjadi karena pengaruh corparate forces.  Bentuk peran dan partisipasi dari pihak corparate melalui program-program Corporate Social Responsiblity (CSR) yang dikembangkan dalam rangka community development, tentunya dapat membuka peluang terhadap perubahan penyelenggara sistem pendidikan dan sekolah, terutama menyangkut pengelolaan anggaran. Perubahan pada sistem pendidikan dan sekolah dapat dilakukan, untuk lebih memungkinkan pemanfaatan sumber-sumber dana pendidikan yang dapat digali dari pihak corporate. Pada tahun 1980, fenomena ini terjadi di USA, dimana pihak corporate banyak berperan dan berpatisipasi aktif dalam membantu menanggulangi keterbatasan pemerintah federal untuk membiayai pendidikan  pendidikan.  


2. EFEKTIVITAS SISTEM ORGANISASI  SEKOLAH 

Dalam perspektif manajemen, umumnya setiap organisasi senantiasa memiliki tujuan, dan proses manajemen dilakukan dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam menetapkan tujuan organisasi, manajemen organisasi menetapkan  kriterianya adalah  rasional dan terukur, artinya dalam proses penentapan tujuan ini harus mempertimbangkan secara logis dan rasional bagaimana peluang pencapaiannya. 
Tingkat pencapaian tujuan organisasi menggambarkan efektivitas organisasi, yang dapat diformulasikan dengan :

E  =  R/T ; dimana  E  = Efektivitas, R = Realisasi, T = Target  

Berdasarkan rumusan tersebut, maka dalam manajemen organisasi, tindakan efektivitas  dapat dengan mudah dicapai, tetapi kemungkinan tidak efisien bila dipandang dari sisi biaya, tenaga, waktu ataupun sumber daya yang digunakan. Untuk mencapai tingkat efisiensi, maka input (masukan) yang digunakan harus seminimal mungkin.  Dengan demikian,  ada dua alternatif kemungkinan, pertama pada kondisi input tetap, tapi output tetap maksimum;  kedua, pada kondisi  input  minimum, tapi tetap menghasilkan output maksimum. Aspek efektifitas dan efisiensi, keduanya adalah landasan untuk pemahaman masalah produktivitas. 

Menurut Steers (1985), efektivitas dapat dimengerti dengan baik, jika dilihat dari sudut sejauh mana organisasi telah berhasil  mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan tujuan operasional. Kriteria yang paling banyak dipakai dalam melihat segi-segi efektivitas adalah kemampuan menyesuaikan diri, produktivitas, kepuasan kerja, kemampuan berlaba, dan pencarian sumber daya. Variabel-variabel sedemikian ini telah diidentifikasi dengan berbagai alternatif, yaitu sebagai alat pengukur efektivitas itu sendiri, dan sebagai variabel yang memperlancar atau membantu memperbesar kemungkinan tercapainya efektivitas. 

Sementara itu, menurut Gibson et. al (1998), efektivitas dalam perilaku organisasi merupakan hubungan optimal antara produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka efektivitas dapat diukur dari berbagai dimensi antara lain : produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan. 

Sedangkan pendapat lain tentang efektivitas, disampaikan oleh Etzioni (1985), menyatakan bahwa efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usahan mencapai tujuan  atau sasaran. Berdasarkan pendapat tersebut, efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasaran. 

Dengan demikian, berdasarkan pandangan dan pemikiran para ahli manajemen tersebut, maka efektivitas merupakan suatu tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha mencapai apa yang menjadi tujuan dan sasaran organisasi. Efektivitas adalah melakukan hal yang benar (doing rights thing), sedangkan efisiensi adalah melakukan  hal secara benar (doing thing rights). 

Efisiensi, dapat saja tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa dalam memanfaatkan sumber daya (input) baik, tetapi tidak mencapai sasaran. Sebaliknya, dapat juga terjadi efektif  tetapi tidak efisien,  yang menunjukkan dalam mencapai sasaran menggunakan sumber daya yang berlebihan atau disebut ekonomi biaya tinggi. Menurut Atmosoeprapto,  efisiensi banyak berhubungan dengan masalah kepemimpinan, dan efisiensi banyak berhubungan dengan masalah manajemen.

Berdasarkan pemahaman tentang teori efektivitas seperti digambarkan di atas maka konsep tentang efektivitas sekolah, akan menjelaskan hal-hal berikut ini :
1)      Efektivitas sekolah harus mampu menggambarkan hubungan timbal balik yang harmonis antara sekolah dengan lingkungan  internal dan eksternal secara luas.
2)      Efektivitas sekolah harus mampu menggambarkan kemampuan sekolah untuk bertahan dan hidup (eksis) dalam lingkungannya,  dengan demikian  kelangsungan hidup sekolah  merupakan ukuran terakhir  atau ukuran jangka panjang mengenai efektivitas sekolah.
3)      Efektivitas sekolah dalam konteks perilaku sekolah harus merupakan hubungan optimal dimensi produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan.
4)      Efektivitas sekolah harus mampu menggambarkan mengenai keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan  dan sasaran sekolah.

Konsep efektivitas sekolah dalam konteks perilaku sekolah dengan melibatkan dimensi produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan,  lebih mudah untuk dimengerti dan  dipahami, karena lebih kongkrit, lebih  terukur,  sehingga lebih mudah diterapkan.

Bertolak pada pemahaman Teori Sistem, menempatkan sekolah sebagai suatu organisasi atau sistem organisasi yang terdiri atas berbagai subsistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, maka sekolah merupakan sebuah kesatuan sistem yang kompleks.  Sebagai satu sistem yang kompleks, sekolah  dalam pengelolaan semua sumber dayanya  akan dilakukan secara rasional demi tercapainya tujuan.  

Menurut Steers (1985), semakin rasional suatu organisasi, maka semakin besar upayanya terhadap semua kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan. Semakin besar kemajuan yang diperoleh  ke arah tujuan, organisasi akan semakin efektif.  Karena itu, efektivitas dapat dipandang sebagai tujuan akhir organisasi. 

Bekaitan dengan persoalan efektivitas organisasi, Gitosudarmo dan Mulyono (2001) menyatakan bahwa efektivitas organisasi harus mampu menggambarkan hubungan timbal balik yang harmonis antara organisasi dan lingkungannya yang lebih luas. Efektivitas organisasi juga adalah apakah satu organisasi itu mampu bertahan dan hidup terus dalam lingkungannya sehingga kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan merupakan ukuran terakhir atau ukuran jangka panjang mengenai efektivitas organisasi. 

Karena itu dalam mengukur efektivitas sekolah, akan dilihat samapi sejauh mana atau seberapa besar kemampuan sekolah dalam melakukan inovasi, kemampuan beradabtasi dengan perubahan lingkungan, kemampuan sekolah dalam melakukan pembelajaran terhadap keberhasilan dan kegagalan  yang dialaminya, dan kapasitas sekolah untuk menyikapi  perubahan-perubahan  yang terjadi dalam lingkungan internal dan eksternal. MacKenzie (1983) menyatakan dalam   ”Research for School Improvement”, ada beberapa dimensi sebagai parameter untuk mengukur  efektivitas sekolah, yaitu : (1) leadership dimensions dengan 8 elemennya, (2) efficacy  dimensions dengan 11 elemennya dan (3) efficiency dimensions dengan 8 elemennya. 

Selanjutnya apabila bertolak dari pandangan Robbins (2001), maka dalam menyelenggarakan berbagai aktivitas atau kegiatan sekolah, maka ada beberapa faktor yang dapat  mempengaruhi efektivitas sekolah, yaitu : (1) adanya tujuan sekolah, (2) sumber daya manusia (SDM), (3) struktur organisasi sekolah, (4) adanya dukungan atau partisipasi masyarakat dan (5) adanya sistem nilai yang luhur.

Konsep tersebut menegaskan tentang adanya pengaruh antara sumber daya manusia dan partisipasi masyarakat terhadap efektivitas sekolah. Sumber daya manusia dan pertisipasi merupakan dua variabel yang erat kaitannya dengan masalah pemberdayaan (empowerment). Tanpa pemberdayaan,  upaya  pengembangan kualitas SDM  dan partisipasi masyarakat sulit untuk diwujudkan. 

Hal tersebut seperti dilustrasikan oleh Girling dan Keith (1989), berdasarkan uji standart kinerja sekolah di California melalui ”California Assesment Program (CAP),  diidentifikasi bahwa sekolah-sekolah yang melibatkan para pendidik (teachers) dalam penetapan tujuan (goal setting), proses perencanaan, (planning), dan  pembuatan keputusan (decession making), dan menerima masukan atau belajar dari para kolega-koleganya, berdasarkan hasil penilaian test yang dilakukan, menghasilkan unjuk kerja (performance) anak didik yang lebih baik, dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang tidak melibatkan partisipasi. 

 Sekolah-sekolah yang memiliki hasil CAP yang tinggi umumnya mengembangkan gaya manajemen partisipatif (participatory management style), dan pada mereka ditemukan karakteristik antara lain  : (1) adanya banyak umpan balik (feed back), (2) adanya dukungan (supportive), (3) adanya  budaya  kritik membangun (constructive critism), (4) adanya budaya komunikasi (commuinication), dan (5) adanya peningkatan (improvement) .
 
DAFTAR PUSTAKA
 
A.Qodri Azizy, 2007, Change Management dalam Reformasi Birokrasi,
            Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Fattah, Nanang, (2003), Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung :
             Remaja Rosdakarya

Hanif  Nurcholis, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
           Jakarta: Grasindo.

Hikmat,Harry, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora
           Utama Press.

Keith dan Girling, Education, Management and Participation,  London :
           Ally and Bacon

Komar, Oong, 2006, Filsafat  Pendidikan Non-Formal, Bandung : Pustaka Setia.

Kydd, Lesley, dkk., 2004, Professional Development for Educational Management, 
          Jakarta : Grasindo.

Moekijat, 2002, Dasar-Dasar Motivasi, Bandung : Pionir Jaya.

Makmur, Syarif, 2008,  Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Efektivitas
           Organisasi,  Jakarta :  Raja Grafindo Persada.

Syafarudin, 2002,  Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan, Jakarta : Grasindo.

Tilaar, H.A.R., 2003, Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa
Depan, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Wibowo, 2007, Manajemen Kinerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar