Dinas Pendidikan Jawa Barat

Dinas Pendidikan Jawa Barat

Selasa, 25 Februari 2014

HAKEKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN FILSAFAT





HAKEKAT  MANUSIA DALAM PANDANGAN FILSAFAT 

Dalam  pandangan Albert Eintstein dan diikuti oleh Burhan Bungin, bahwa ilmu pengetahuan bukan satu-satunya jalan untuk mengungkapkan kebenaran. Melalui filsafat juga akan dapat diungkapkan  kebenaran, selain tentunya melalui agama dan seni.
Plato
Para Ahli Filsafat Kuno,  di antaranya Plato (427-347 SM) menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang murni; dan Aristoteles (380-322 SM) mendefinsikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran. Karenanya, seperti dikatakan Sutardjo A. Wiramihardja (2007 : 91) :
Aristoteles
”Kebenaran filsafati adalah pengetahuan yang kebenarannya dimatangkan dengan pendalaman berpikir rasional, sistematis, universal bebas, dan terutama radikal. Dengan demikian kebenarannya bersifat subyektif, yaitu tergantung pada kemampuan berpikir subyek atau tiap-tiap orang.” 

Rene Descartes
Immuel Kant
Sementara itu, pandangan  Ahli Filsafat Modern, seperti  Rene Descartes (1596-1650), mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan segala ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya  Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.  Begitupun juga, Immanuel Kant menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala ilmu pengetahuan yang di dalamnya mencakup empat persoalan, yaitu apa yang dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui (etika), sampai dimana harapan kita (agama), dan apa yang dinamakan dengan manusia (antropologi).

 Karena itu Hasbullah Bakri (dalam Sutardjo A. Wiramihardja, 2007 : 11) merumuskan definisi filsafat sebagai berikut :
”Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan,  alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikat ilmu filsafat dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu”.

Dengan pertimbangan itu, maka untuk menggali pengetahuan tentang makhluk ciptaan Tuhan yang dinamamakan ’manusia’, dapat menggunakan pendekatan filsafat, dan dipilihlah Filsafat Manusia sebagaimana dikupas olah Louis Leahy (2001) dalam pustaka filsafat  Siapakah Manusia?"
 Filsafat manusia adalah bagian filsafat yang mengupas apa arti manusia  filsafat manusia mengungkapkan sebaik mungkin apakah sebenarnya makhuk yang disebut ”manusia”. Istilah filsafat manusia diterjemahkan dari istilah antropologi filosofis (dalam bahasa Yunani anthropos berarti manusia), yang  menggali, memperdalam dan memperkaya pengetahuan tentang manusia dengan memandang manusia sebagai kesatuan roh dan badan, atau jiwa dan daging.
Hal tersebut seperti yang digambarkan oleh Rene Descartes, bahwa  manusia terbentuk dari badan dan jiwa sebagai dua substansi yang lengkap masing-masing.
Edmund Hussler
Pandangan Rene Descartes tersebut dipengaruhi tradisi pemikiran filsafat kuno pendahulunya, yaitu filsafat  Plato yang humanis. Pandangan Plato tentang manusia menempatkan manusia sebagai manusia, yang sangat dipengaruhi oleh rasionya. Karena itu, menurut Plato manusia memiliki idealisme. Pemikiran Plato ini juga banyak mempengaruhi para ahli filsafat selanjutnya, seperti Edmund Hussler, Martin Heidgger dan Merleau Ponty, yang banyak mengembangkan aliran filsafat fenomenologi.
Merleau Ponty
  Fenomenologi adalah aliran filsafat yang mengkaji fenomena atau penampakan, dimana antara fenomena dan kesadaran tidak terisolasi satu sama lain, melainkan selalu berhubungan secara dialektis. Menurut aliran fenomenologi, suatu fenomena atau sesuatu yang tampak pasti bermakna,  menurut subyek yang menampakkan  fenomena tersebut. Karena setiap fenomena berasal dari kesadaran manusia sehingga sebuah fenomena pasti ada maknanya.
Tradisi pemikiran filsafat Plato yang humanistis dan idealistis ini juga banyak mengilhami pemikiran Immanuel Kant yang berfaham kritisme maupun Hegel yang idealisme tentang dunia ide. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran tersebut melahirkan atau menjadi akar tradisi paradigma fenomenologi dalam penelitian sosial yang dikenal sebagai paradigma penelitian sosial kualitatif,
Lois Leahy, SJ
Selanjutnya, dalam kajian filsafat  manusia, Louis Leahy (2001 : 17)  menjelaskan bahwa demikian banyak para  ahli filsafat telah berupaya untuk menjelaskan tentang manusia, namun banyak di antaranya memunculkan keragu-raguan dan pertentangan. Beberapa  keragu-raguan dan pertentangan itu, seperti pendapat Plato dan Plotinos, misalnya manusia adalah  suatu makhluk ilahi, namun sebaliknya menurut Epikorus dan Lukretus, manusia  adalah suatu makhluk yang berumur pendek, lahir karena kebetulan, dan akhirnya sama sekali lenyap.
 Selain itu, ada juga pertentangan pendapat antara Rene Descartes, yang mengatakan bahwa kebebasan manusia mirip dengan kebebasan Tuhan, sebaliknya Voltaire mengatakan bahwa manusia tidak berbeda secara esensial dengan binatang-binatang yang paling tinggi; seperti juga pendapat antara Hobbes yang mengatakan bahwa manusia dalam daya geraknya bersifat agresif dan jahat, dan ditentang oleh Rousseau yang mengatakan sebaliknya bahwa manusia itu baik dalam kodratnya. 
Namun, disamping temuan adanya keragu-raguan dan pertentangan-pertentangan  itu, filsafat manusia dalam pandangan Louis Leahy (2001:20-21) juga dapat menjelaskan adanya suatu watak-sifat manusia, yang merupakan kumpulan corak dan suatu rangkaian bentuk dinamis yang memiliki kekhasan bagi manusia. Dengan adanya watak-sifat manusia, memungkinkan manusia dapat dibedakan dengan makhuk-makhuk lainnya. Tanpa adanya watak-sifat yang dimiliki manusia, filsafat dan setiap ilmu pengetahuan tentang manusia tidak mungkin akan berjalan.
 Namun, menurut Lois Leahy yang paling sulit adalah membedakan kategori watak-sifat manusia, mana yang menjadi sifat dasar manusia dan mana yang menjadi sifat skunder; atau dengan kata lain mana watak-sifat yang harus selalu ada pada setiap manusia, dan mana watak-sifat yang hanya ada pada manusia tertentu saja.
Dengan mempertimbangkan pendapat para antropologi bahwa apa yang oleh orang Eropa atau orang Amerika dianggap tanpa ragu-ragu sebagai ciri khas kelakuan manusia, namun tidaklah selalu demikian menurut pandangan dan pendapat orang Afrika dan Asia, maka  harus dipertimbangkan penegasan  Louis Leahy  (2001: 21) ini yang mengatakan :  
 ”Di antara orang-orang dari kebudayaan yang sama tidaklah selalu mudah untuk menyesuaikan pendapat tentang apa yang normal dan apa yang tidak normal, tentang apa yang bermoral dan apa yang tidak; karenanya watak-sifat manusia sangatlah kompleks, fleksibel dan dipengaruhi oleh daya perkembangan, tidak mewujudkan sekaligus segala kemampuannya, dan tidak mewujudkan diri di mana-mana dengan cara yang sama.” 

Lebih jauh Louis Leahly (2001:21) mengatakan tentang watak-sifat manusia sebagai berikut:
”Mungkin ada variasi-variasi tanpa henti berdasarkan waktu dan lingkungan, adat kebiasaan, serta keadaan-keadaan setempat, namun variasi-variasi yang kadang-kadang begitu bertentangan  atau mengherankan hanya dapat tampak sebagai variasi, kerena timbul pada suatu dasar umum, yang oleh para ahli antropologi sendiri tanpa ragu-ragu diakui adanya.” 
Clyde Kluckhohn
Penegasan yang bernuansa permisif tentang watak-sifat manusia tersebut didukung oleh pernyataan Clyde Kluckhohn (dalam Louis Leahly, 2001:21), sebagai berikut : ”Para anggota dari semua masyarakat manusiawi, mendapati persoalan-persoalan  sulit dan sama dimana-mana, yang tidak bisa dihindari dan ditimbulkan oleh biologi manusia serta fakta-fakta lain dari pada keadaan manusia itu.”


DAFTAR PUSTAKA 
 A. Wiramihardja, Sutardjo, 2007, Pengantar Filsafat (Sistematika Filsafat, 
           Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemokogi), Metafisika
           dan Filsafat Manusia, Aksiologi), Bandung: Refika Aditama.
          Louis Leahy, 2001,  Siapakah Manusia ? (Sintesis, Filosofis tentang Manusia), 
          Pustaka Filsafat, Yogjakarta:  Kanisius.
 Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, 2007, Teori Kepribadian,  Bandung : UPI-
             Bandung  dan  Remaja Rosdakarya.
Yves Brunsvick dan Andre Danzin, 2005, Lahirnya Sebuah Peradaban,
             Yogjakarta : Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar