Dinas Pendidikan Jawa Barat

Dinas Pendidikan Jawa Barat

Selasa, 18 Februari 2014

MANAJEMEN PERUBAHAN, PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI

 
MANAJEMEN PERUBAHAN, PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI 


A. MANAJEMEN PERUBAHAN 

1. Perubahan dan Manajemen Perubahan
            Kata ”Change” diikuti ”Chage Management  yang semakin populer di masyarakat dan penerapannya telah memasuki banyak bidang, semula memang berkembang dari dunia bisnis/perusahaan swasta  (privat company) atau korporat (corporat). Kata ’chage’ diterjemahkan sebagai ’perubahan’, yang mengandung makna tentang keberadaan sesuatu hal yang tidak tetap, sesuatu yang senantiasa bergerak, berkembang, dinamis, dan berubah.  Sedangkan ’change management’ diterjemahkan sebagai ’manajemen perubahan’, untuk menjelaskan tentang sebuah tindakan manajemen untuk mengelola perubahan atau menghadapi perubahan.  Pengelolaan perubahan perlu dilakukan karena segala fenomena yang dihadapi perusahaan, situasi dan kondisi atau keadaan sekeliling perusahaan senantiasa mengalami perubahan, seperti menyangkut permintaan dan selera konsumen, pangsa pasar, harga bahan baku, suku bunga perbankan, teknologi, perburuhan,  peraturan, kebijakan dan berbagai regulasi pemerintah.  

            Sifat perubahan itu ada yang dapat diprediksi (predicable) dan ada yang tidak dapat diprediksi (unpredicable), namun kedua sifat perubahan tersebut harus dapat dikelola dengan baik. Dalam bukunya ”Change !” ,  Rhenald Kasali (2005) mengutip pendapat R.L. Daft (2004), yang mengelompokan perubahan atas dua kategori, yaitu : (1) perubahan strategis, yaitu perubahan radikal yang menyangkut proses transformasi dan perubahan tentang visi, sistem kerja, sampai dengan strukturisasi; dan (2) perubahan operasional atau perubahan tambahan (incremental), yaitu perubahan yang dilakukan hanya menyangkut tujuan untuk menjaga keseimbangan perusahaan/organisasi, misalnya peremajaan teknologi dan pembenahan bagian/unit-unit perusahaan.

            Menurut A. Qodry Azizy (2007), perubahan bersifat konstan, yang tidak berubahan adalah perubahan itu sendiri. Karena itu, perubahan akan senantiasa ada, sehingga perubahan harus selalu dilakukan dan dikelola.  Dengan demikian manajemen perubahan diperlukan sebagai solusi atau terapi atas permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan/organisasi saat ini, dalam rangka meraih tujuan atau keberhasilan di masa  depan. 

Manajemen perubahan dapat menjadi solusi dan terapi dari upaya-upaya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan perusahaan/organisasi karena faktor-faktor ekternal dan internal, seperti mengejar ketertinggalan teknologi, mengatasi keresahan karyawan; dan meningkatkan kinerja perusahaan/organisasi, seperti meningkatkan disiplin, motivasi, dan produktivitas, serta meningkatkan  kualitas dan inovasi produk, meningkatkan pangsa pasar, mengingkatkan laba keuntungan, dsbnya.
Hal tersebut sesuai dengan pendatat  Jeff Davidson (2005), yang mengatakan sebagai berikut :
”Perubahan  bisa bermakna melakukan hal-hal dengan cara baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru, memasang sistem baru, mengikuti prosedur-prosedur  manajemen baru, menggabungkan, melakukan reorganisasi, atau terjadinya peristiwa yang bersifat mengganggu (distructive) yang sangat signifikan”.

Namun perlu disadari bahwa perubahan tidak selalu dinilai sebagai sesuatu yang positif, bahkan sering terjadi penilaian sebaliknya yang negatif terhadap maksud perubahan, dengan munculnya banyak resistansi atas perubahan. Resistansi terhadap suatu perubahan, dapat terjadi karena  berbagai kendala  dan faktor.

2. Pendidikan dan Perubahan

Pendidikan merupakan sebuah proses perubahan, yang terjadi sepanjang hayat manusia, baik dalam dimensi individual maupun sosial. Dalam pendidikan terjadi upaya  peningkatan dan pengembangan potensi sumber daya manusia (SDM) dalam rangka kelangsungan hidupnya, baik secara individual maupun kolektif. Semua upaya tersebut berhubungan dengan  lingkungan masyarakat, baik dalam cakupan  lokal, regional dan global.  

Pendidikan sebagai wujud dari proses perubahan yang dilakuan secara  sadar, diarahkan untuk menyiapkan SDM, agar dapat memiliki peran dan fungsi dalam lingkungan hidup masyarakat lokal, regional dan global di masa depan. Proses perubahan itu dilakukan  melalui kegiatan pembinaan, bimbingan, pengajaran dan pelatihan.

Menurut Henderson (dalam Oong Komar, 2006:182), pendidikan memiliki dimensi sosial dan individual. Pendidikan adalah proses hominisasi dan humanisasi, dimana pendidik memanusiakan anak didik dan anak didik  memanusiakan dirinya, karena hakekat pendidikan adalah pengaruh yang diberikan oleh orang yang bertanggungjawab kepada anak,  agar anak memanusiakan sendiri dalam bentuk kedewasaan. 

Selanjutnya menurut Driyarkara, S.J (1984),  rumusan pendidikan tersebut perlu melibatkan aktivitas pemanusiaan anak  ke alam budaya dan pandangan tentang nilai, sebab pendidikan merupakan perbuatan yang mengubah dan menentukan hidup manusia. Anak yang dididik akan tumbuh menjadi manusia dan pendidik dengan cara tertentu telah menentukan sikap dan suatu keputusan, yang menurut prinsip kehidupan dan nilai insani yang membangun seluruh hidupnya.

Karena itu, seperti disampaikan oleh Sihombing (2000),  pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pengembangan kemampuan masyarakat, karena pendidikan memfokuskan diri pada pengembangan kepribadian dan sikap mental yang berpengaruh terhadap kematangan perilaku. Sejalan dengan pemikiran itu, Supriatna (1997) menyatakan bahwa pendidikan sebagai sarana transformasi budaya dalam meningkatkan kualitas SDM,   sangat relevan dengan aspek survival, kemerdekaan, humanisasi, pemberdayaan, dan rasionalisasi. Dimana tujuan akhir proses transformasi tersebut adalah  terciptanya produktivitas, etos kerja, kemandirian, dan jati diri manusia yang unggul untuk memenuhi tuntutan pembangunan. 

Pendidikan sebagai proses perubahan akan senantiasa ada, karena berlangsung sepanjang hayat (long life education), sehingga perlu dilakukan pengelolaan.  Dengan demikian pendidikan juga memerlukan suatu manajemen perubahan, sebagai solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, dalam rangka meraih tujuan atau keberhasilan pendidikan  di masa  depan. 

 
B.  MANAJEMEN PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI

1. Pemberdayaan   
Menurut Smith (2000), memberdayakan orang berarti mendorong mereka menjadi lebih terlibat dalam keputusan dan aktivitas yang mempengaruhui pekerjaan mereka. Hal tersebut akan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah upaya mendorong orang untuk lebih terlibat dalam pembuatan keputusan dalam organisasi. Dengan demikian diharapkan akan meningkatkan kemampuan dan rasa memiliki, dan meningkatkan rasa tanggung jawab sehingga kinerjanya meningkat. Anggota organisasi yang diberdayakan diharapkan melakukan pekerjaan melebihi tanggung jawab yang diberikan kepada mereka. Melalui pemberdayaan, orang diberikan kesempatan untuk dapat menunjukkan bahwa mereka dapat memberikan gagasan yang baik, dan mempunyai ketrampilan mewujudkan gagasan menjadi realitas. 

Menurut Sedarmayanti (1999), munculnya konsep pemberdayaan, pada awalnya merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dunianya sendiri. Oleh karena itu, wajar apabila konsep ini menampakkan dua kecenderungan, yaitu : (a) Makna primer : pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian  kekuasaan,  kekuatan,  atau kemampuan  (power)  kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya, (b) Makna skunder : pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau pemberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.

 Makna pemikiran Sedarmayanti tersebut sejalan dengan pemikiran-pemikiran Bennis dan Mische (1995), yang menyatakan bahwa pemberdayaan berarti menghilangkan batasan birokratis yang mengotak-ngotak orang atau membuat mereka  menggunakan seefektif mungkin ketrampilan, pengalaman, energi dan ambisinya.  Demikian juga dengan pandangan Cook dan Steve (1996), menyatakan bahwa pemberdayaan meliputi memindahkan tanggung jawab kepada staf garis depan, diperhitungkan di dalam keputusan  dan memberi kesempatan untuk menjadi seorang individu.

  Selanjutnya, makna pemikiran Sedarmayanti, nampaknya juga sejalan dengan pemikiran  Irwin (1995), yang menyatakan bahwa pemberdayaan prinsipnya adalah dalam rangka membangkitkan atau membangun potensi-potensi yang ada pada seseorang dan sekelompok orang seperti : bakat, ketrampilan, kekuatan dan kesenangan.  

Selanjutnya, Stewart (1998), juga menyatakan bahwa pemberdayaan menuntut lebih banyak kecakapan dan sumber daya manajerial yang menuntut digunakannya seperangkat kecakapan baru, yaitu: (a) membuat mampu (enabling), (b) memperlancar (facilitating), (c) berkonsultasi (consulting), (d) bekerja sama (collaborating, (e) membimbing (mentoring) dan (f) mendukung (supporting). 

Richard Carver (dalam Clutterbuck, 2003), menyatakan bahwa pemberdayaan adalah ketersediaan individu-individu di bawah situasi dan kondisi  yang tepat untuk mengembang tanggung jawab pribadi  untuk memperbaiki situasi dimana mereka berada. Sedangkan,  Clutterbuck (2003), menyatakan bahwa pemberdayaan sebagai upaya mendorong dan memungkinkan individu-individu untuk mengemban tanggung jawab pribadi atas upaya mereka memperbaiki cara mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan mereka dan menyumbang pada pencapaian tujuan. Sehingga pemberdayaan akan memiliki lima dimensi, yaitu :  (a) mendorong, (b) tanggung jawab, (c) memperbaiki cara kerja, (d) menyumbang (kontribusi) dan (e) pencapaian tujuan. 

 Menurut Hikmat (2003), strategi pemberdayaan pada hakekatnya bertumpu pada pada pendekatan partisipatif pada semua pihak, penguatan kemampuan dan pendelegasian otoritas dan tanggung jawab, serta aktualisasi institusi tradisi dalam pendayagunaan potensi diri dan sosial yang dimilikinya.  Ketersediaan seseorang untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuan untuk berkembang secara mandiri. 

Berkaitan dengan pemahaman partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Tilaar (1997) menyatakan  : 
”Suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah suatu masyarakat yang mengetahui  potensi dan kemampuannya termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya. Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya, termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya, bahkan pada tingkat regional dan internasional.”

Dengan pernyataan itu, Tilaar menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Semakin tinggi tingkat kemampuan  atau pemahaman masyarakat, akan semakin tinggi pula partisipasi masyarakat yang bersangkutan.

 Menurut Blanchard dan Hersey (1995), paling tidak ada tiga bidang kemampuan yang diperlukan seseorang  untuk suatu tindakan manajemen yaitu (1) kemampuan teknis, (2) kemampuan sosial dan (3) kemampuan konseptual.  Kemapuan teknis (technical skill), yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode,  teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu. Kemampuan ini diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan training.  Kemampuan sosial (social skill), yaitu kemampuan dalam bekerja dengan atau melalui orang lain. Kemampuan konseptual (conceptual skill), yaitu kemampuan dalam memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit kerja masing-masing ke dalam bidang operasi organisasi secara menyeluruh.

Hal lain yang sangat penting untuk diperhatikan, bahwa pemberdayaan berhubungan dengan upaya mengubah peran dan perilaku manajemen. Pemberdayaan merupakan proses yang hanya dapat dimulai dengan iklim dimana terdapat harapan (ekspetasi) yang tinggi, dimana orang menawarkan yang terbaik sepanjang waktu. Karena itu, manajemen puncak  harus di belakang  gerakan pemberdayaan. 

Pemberdayaan berkaitan dengan pendistribusian otoritas dan tanggung jawab manajemen puncak, Untuk itu, jika tanpa dukungan manajemen puncak,  pemberdayaan menjadi sulit dikembangkan di organisasi. Karena itu, salah satu faktor yang mempengaruhi pemberdayaan adalah faktor gaya manajemen (management style). Manajemen puncak dalam mengelola dan memimpin organisasi, dalam rangka pemberdayaan seharusnya mengembangkan gaya manajemen partisipatif (participatory management style).  

Strategi pemberdayaan dengan menggunakan pendekatan management partisipatif, akan lebih memberikan  keuntungan bagi pengembangan organisasi dibandingkan dengan pendekatan manajemen non-partisipatif (non-participatory management).  Selain aspek gaya manjemen (management style), faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemberdayaan organisasi adalah masalah budaya organisasi (organizational culture) dan iklim organisasi (organizational climate).
 
 Menurut Kilman, Saxon dan Serpa (1960), setiap organisasi dalam melakukan tindakan manajemen, baik yang  berhubungan dengan upaya pemecahan masalah atau pun pengambilan keputusan,  akan mempertimbangkan  aturan-aturan yang menjadi kesepakatan atau konsensus bersama, baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Kesepakatan atau konsensus bersama tersebut telah  mengikat seluruh elemen dalam organisasi, tentang semua hal yang berhubungan dengan organisasi, seperti : asumsi, tata nilai, sikap, norma,  ekspektasi,  kepercayaan, idiologi, dll. Baik dimensi filosofi dan segala aturan yang mengikat dan turut mengatur jalannya organisasi itu, disebut sebagai budaya organisasi (organization culture).

Sedangkan iklim organisasi lebih berhubungan bagaimana kondisi yang tercipta di  organisasi sebagai  dampak dari hubungan komunikasi dan kerjasama yang dilakukan organisasi dengan lingkungannya baik internal dan eksternal. Dalam  iklim organisasi akan melibatkan  dimensi moralitas, etika kerja, standar kerja, dan tingkat kompetensi dan  kompetisi lingkungan kerja , yang dapat menimbulkan sikap penolakan karena adanya ketidakpuasan (unsatisfactory); dan sikap penerimaan atau pendukungan bahkan dapat pula membangkitkan motivasi   karena adanya kepuasan (satisfactory). Karena itu, tingkat kepuasan dari anggota organisasi menjadi salah satu indikator dari iklim organisasi.

Salah satu faktor diterminan dalam rangka membangun iklim organisasi yang lebih baik adalah sikap profesionalisme dalam lingkungan kerja yang penuh kompetisi. Karakteristik yang mencirikan adanya profesionalisme, adalah (1) adanya tingkat penguasaan ilmu dan pengetahuan yang tinggi, (2) adanya tingkat kompetensi teknis yang tinggi; oleh semua komponen organisasi yang diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan.  Dengan sikap profesionalisme tersebut, maka dalam organisasi akan muncul beberapa hal yang maju, diantaranya : (1) munculnya kemandirian, (2) munculnya inisiatif dan inovasi, (3) terjadinya sharing informasi (informatif), (4) terjadinya transparansi dan akuntabilitas, dan (5) munculnya tanggungjawab yang tinggi dalam rangka pelayanan publik.

2.  Manajemen Partisipasi

            Manajemen Partisipasi terbentuk dari kata ’manajemen’ dari ’partisipasi’, yang masing-masing kata pembetuknya memilikik makna dan pengertian yang terpisah. Kata manajemen menurut sejarah perkembangannya, telah mengalami proses evoluasi yang panjang dalam segi penggalian makna, gagasan, ide, pemikiran, konsep dan teori dari banyak ilmuwan dan para ahli. Teori-teori awal tentang manajemen berkembang dari Machiavelli (1500), yang menekankan manajemen  sebagai pedoman pemanfaatan kekuasaan, lalu Adam Smith (1776), manajemen sebagai pembagian kerja dalam  organisasi/perusahaan, selajutnya Henry Fayol yang menekankan pada penyelenggaraan proses administrasi. Demikian juga dengan Follet, manajemen dalam konteks perilaku dinamika organisasi, dan Max Weber dengan focus manajemen dalam birokrasi, dilanjutkan oleh Mayo, Maslow, dan Mc. Gregor dengan kajian  aspek-aspek  studi perilaku manusia dalam manajemen. 

             Pada saat ini, kata ’manajemen’ atau sering yang diterjemahkan sebagai ’pengelolaan’, berhubungan dengan berbagai macam usaha, upaya atau tindakan dari pelaku (manager), baik bersifat sebagai ilmu atau seni, dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan/organisasi. Tindakan manajemen yang dimaksud berhubungan dengan pengerahan sumber-sumber daya yang berupa manusia , material, dan money  atau ”3M”, yang diatur melalui serangkaian proses perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pelaksanaan (actuating), dan pengendalian atau pengawasan (controlling) serta evaluasi (evaluating). 

            Seperti yang dikatakan Mary Parker Follet (dalam Stoner, 1986), bahwa ”Management is the art of getting things done through people”, atau  manajemen sebagai seni untuk melaksanakan pekerjaan melalui orang-orang. Dengan demikian, bahwa manajemen berhubungan dengan upaya pencapaian tujuan perusahaan/ organisasi dengan mengatur atau melalui orang lain. 

            Henry M. Botinger menyatakan bahwa manajemen sebagai suatu seni membutuhkan 3 unsur, yaitu pandangan, pengetahuan teknis, dan komunikasi.  Dalam manajemen terkandung unsur hubungan antar manusia dan  struktur sosial/ kemasyarakatan dan organisasi, sehingga manager seharusnya memahami ilmu perilaku yang mendasari manajemen. Semakin banyak pengetahuan yang dipahami dan dikuasasi oleh manajer, maka akan semakin menguasai langkah-langkah tindakan yang dilakukan melalui orang lain, dalam rangka pencapaian maksud dan tujuan organisasi/perusahaan.             
Sedangkan kata partisipasi mengandung makna yang luas dan dalam. Curtis et al. (1978) mendefinisikan partisipasi sebagai berikut :
”... participation is concerned with distribution of power in society, for it is power with enables groups to determine wich needs, and whose needs will be met through the distribution of resources”.

Menurut Curtis, inti partisipasi adalah adanya distribusi kekuasaan atau otoritas dalam kelompok, karena kelompok mampu untuk menentukan sendiri apa yang menjadi kebutuhan. Di samping itu, partisipasi juga akan mempertemukan  kelompok melalui pendistribusian sumber daya sesuai dengan kebutuhan kelompok. Selain itu, inti dari partisipasi adalah adanya keterlibatan anggota secara teratur dan siqnifikan dalam kelompok.

Bertolak dari gagasan dan pemikiran tersebut, maka teori atau konsep manajemen partisipatif  (participatory management) senantiasa berhubungan dengan pengelolaan atau pengaturan  tindakan partisipasi yang dilakukan oleh manajer melalui orang lain dalam suatu organisasi/perusahaan,   terutama untuk beberapa hal berikut ini, yaitu : (1) perumusan tujuan, (2) pemecahan berbagai masalah, dan (3) pembuatan keputusan.

Menurut penelitian Goretex, praktik manajemen partisipasi telah menjadi  kunci kesuksesan dan keunggulan dari beberapa perusahaan  maju dunia , seperti Hewiett Packcard (HP) dan WL. Gore Associates. Di Eropa, praktik manajemen partisipasi banyak diterapkan untuk mengelola masalah-masalah perburuhan. (Europe workers), mulai dari sekedar penyediaan  kotak saran, sampai dengan bentuk praktik-praktik partisipasi yang berhubungan dengan pengendalian manajemen sampai pengambilan keputusan. Karena itu,  praktik manajemen partisipasi ini telah membawa kesuksesan untuk menciptakan kondisi perburuhan yang kondusif dan damai di negara-negara  wilayah  Scandinavia dan Jerman Barat. 

 Munculnya teori dan konsep manajemen partisipasi didasarkan atas beberapa asumsi pendekatan berikut ini : (1) pengelolaan organisasi/perusahaan bersifat kompleks, (2) manajemen tidak mungkin akan bisa menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi oleh organisasi/perusahaan, (3) manajemen modern semakin menuntut adanya spesialisasi pengetahuan, (4) otoritas dan tanggung jawab dapat dibagi bersama dalam organisasi/perusahaan (shared authority and shared responsibility) .
Paul (1987) menjelaskan partisipasi sebagai berikut :
”Participation refers to an active process whereby benefictartes influences the direction and execution of development projects rather than merely receive a share of project benefits” 

Berdasarkan pendapat Paul, maka manajemen partisipasi memberikan pengaruh yang sangat menguntungkan dalam proses pengarahan, pelaksanaan dari sebuah implementasi kebijakan atau keputusan organisasi, karena itu manajemen  partisipasi merupakan suatu proses yang membutuhkan sikap aktif,  kreatif dan inovatif.

Untuk lebih dapat  memahami manajemen partisipasi dapat dilakukan dengan menggunakan dua model pendekatan, yaitu : (1) model kognitif (cognitive model)  dan (2) model afektif (affective model).  Dalam pendekatan model kognitif,  partisipasi  dihasilkan melalui penyediaan informasi yang berkualitas atau bernilai, dari level organisasi yang lebih rendah terhadap level majemen strategis, sehingga dapat meningkatkan produktivitas organisasi.  

Sedangkan  pendekatan afektif, menjelaskan bahwa iklim partisipasi yang kondusif dalam organisasi dapat  memberikan kepuasan, dan membangun motivasi anggota. Kualitas sikap perilaku anggota  meningkat, dengan mereduksi resistansi terhadap upaya-upaya  pencapaian tujuan organisasi. Dengan sikap dan perilaku anggota organisasi seperti itu, maka produktivitas organisasi akan meningkat. Hal tersebut seperti dinyatakan oleh French, Israel, dan As (1960) sebagai berikut :
“When management accords the workers participation in any important decision, it implies that workers are intelligent, competent, and valued partners. Thus, participation directly affets… the perception of being valued, the perception of common goals and cooperation”.

Sedangkan dalam konteks pembangunan masyarakat, menurut Ndraha (1987),  partisipasi dapat berfungsi sebagai masukan dan keluaran. Sebagai masukan Ndraha, partisipasi masyarakat dapat berfungsi dalam enam fase proses pembangunan, mulai dari penerimaan informasi, pemberian tanggapan terhadap informasi, perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, penerimaan kembali hasil pembangunan dan penilaian hasil pembangunan.

Sebagai masukan, partisipasi masyarakat berfungsi dalam menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Sementara itu, sebagai keluaran, menurut Ndraha, partisipasi dapat digerakkan atau dibangun, dalam hal ini partisipasi berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat. 

Dengan demikian, sebagai keluaran partisipasi dapat distimulasi atau digerakkan melalui berbagai upaya, baik secara internal maupun eksternal. Melalui berbagai upaya motivasi, diharapkan patisipasi masyarakat dapat terus berkembang meningkat, dan pada satu saat tertentu, partisipasi akan menjadi penentu dalam kesuksesan proses pembangunan masyarakat.  

Antara partisipasi  masyarakat dengan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri (kemandirian masyarakat) dalam konteks pembagunan masyarakat erat sekali. Kemampuan masyarakat untuk membangun kemandiriannya sangat ditentukan oleh shared power serta shared responsibility yang diberikan kepada masyarakat.  Karena itu, proses pemberdayaan  (empowerment) menjadi kata kunci dalam partisipasi.

DAFTAR PUSTAKA

A.Qodri Azizy, 2007, Change Management dalam Reformasi Birokrasi,
            Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Fattah, Nanang, (2003), Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung :
             Remaja Rosdakarya

Hanif  Nurcholis, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
           Jakarta: Grasindo.

Hikmat,Harry, 2006, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora
           Utama Press.

Keith dan Girling, Education, Management and Participation,  London :
           Ally and Bacon

Komar, Oong, 2006, Filsafat  Pendidikan Non-Formal, Bandung : Pustaka Setia.

Kydd, Lesley, dkk., 2004, Professional Development for Educational Management, 
          Jakarta : Grasindo.

Moekijat, 2002, Dasar-Dasar Motivasi, Bandung : Pionir Jaya.

Makmur, Syarif, 2008,  Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Efektivitas
           Organisasi,  Jakarta :  Raja Grafindo Persada.

Syafarudin, 2002,  Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan, Jakarta : Grasindo.

Tilaar, H.A.R., 2003, Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa
Depan, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Wibowo, 2007, Manajemen Kinerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar